Because Of You [songfic]

 

Author: mmmpeb

Length: ficlet

Genre: family, romance

Rating: G

Cast:

  • Lee Jonghyun CNBLUE

Disclaimer: Kelly Clarkson’s Because Of You (hear & watch here)

Note: dari iseng-iseng nuker2 channel tv akhirnya stak di channel [v] gara-gara muterin lagu lama ini. Udah lama ga liat videonya malah bikin aku nangis. Beneran aku nangis liatnya, mungkin karena ikut ngerasain. Selamat membaca ya~ Kalau bisa, bacanya sambil dengerin BECAUSE OF YOU nya KELLY CLARKSON, udah aku link tuh di Disclaimer *nunjuk atas* 🙂

*********************************

I will not make the same mistakes that you did
I will not let myself
Cause my heart so much misery
I will not break the way you did,
You fell so hard
I’ve learned the hard way
To never let it get that far

Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side so I don’t get hurt
Because of you
I find it hard to trust not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid

 

BRAK!

Suara gebrakan meja karena ulahku sontak membuatnya terkejut. Tubuhnya sedikit bergetar tapi aku tidak mempedulikannya. Berdiri dengan kasar hingga kursi yang kududuki terpelanting ke belakang, dan ini menambah keterkejutannya. Kakiku melangkah menjauhi rumah yang bagiku kini terasa seperti neraka. Panas!

“KAU MAU KE MANA, LEE JONGHYUN?” pekiknya. Namun aku tetap tidak menghiraukannya dan terus berjalan seolah tidak mendengarnya. Kudengar derap langkahnya menyusulku semakin mendekat dan menarik kasar lengan tanganku begitu berhasil menyusulku. Mau tidak mau aku menatap wajah merahnya karena memendam rasa emosi.

“Kau mau ke mana lagi?” tanyanya lagi.

“Aku hanya ingin menenangkan diri!” kutepis tangannya dari lenganku dengan kasar dan lagi-lagi dia terkejut. Kemudian kulihat dia tersenyum miris dan sedikit tertawa.

“Jadi maksudmu kau tidak tenang berada di dekatku?”

“Berhenti bersikap seperti anak kecil, Shin Chaerim!”

“Kau yang harusnya berhenti beranggapan seolah pekerjaan adalah Tuhanmu!”

“CUKUP, CHAERIM!” aku berteriak, bukan memekik, tepat di depan wajahnya. Aku tahu aku sudah kelewatan, tapi kalau tidak berbuat seperti ini dia akan terus mengoceh dan memojokkanku. “Aku lelah!” suara dari mulutku keluar seperti bisikan pasrah.

Chaerim hanya terdiam hingga keheningan menyelimuti kami. Suara deru nafas kami memenuhi ruangan, disusul isakan darinya. Sungguh aku tidak tega melihatnya menangis. Namun emosi masih menguasaiku dan menuntunku untuk lebih menuruti egoku sendiri.

“Aku juga lelah, Jonghyun! Kita berhenti saja sampai di sini!”

Berhenti? Berhenti apa?

“Bercerai?” kata pahit pertama yang terlontar dari mulutku sendiri. Dan kuharap bukan ini yang Chaerim maksud walaupun firasatku mengatakan memang itulah maksudnya.

“Kau bilang kau lelah, kan? Aku juga lelah, Jonghyun! Lelah menunggumu pulang hingga larut malam. Lelah menunggu hari dimana kita bisa menghabiskan waktu berdua. Lelah melihat Jaebum yang menangis karena ayahnya sendiri tidak melihat pertandingan softball pertamanya. Aku merasa aku yang paling lelah dari semua ini. Akhiri saja!”

BRAK!

Aku memukul pintu kayu di belakang Chaerim, kembali membuatnya terkejut karena aku memukulnya tepat di samping kepalanya. Isakannya semakin keras. Membuat hatiku semakin sakit. Apa hanya sampai di sini hubungan kami?

“BERHENTI MENANGIS!” pekikku di depan wajahnya.

“KAU YANG BERHENTI MEMBENTAKKU! AKU LELAH! AKU LELAH!!!” Chaerim mendorong dadaku dengan kuat. Berjalan menuju nakas dan meraih kasar bingkai foto. Mengangkatnya tinggi-tinggi dan seolah ingin membantingnya. Tapi hingga beberapa detik kemudian foto itu tidak menyentuh lantai, masih tergenggam erat di jemari kedua tangan Chaerim yang terangkat bebas di udara. Bahkan Chaerim sendiri tidak bergerak layaknya patung.

Ada apa ini?

Semua terasa berhenti. Jampun tidak berdetak.

SRRKK!

Sebuah suara sontak membuatku menoleh pada kaca besar di sudut ruang. Entah kenapa aku melangkah menghampirinya.

Muncul sosok diriku di cermin itu. Hanya saja bukan diriku yang sekarang. Dia adalah Jonghyun, bocah berumur sepuluh tahun.

Sosok itu keluar dari dalam kaca. Mulutku menganga, merespon penglihatanku yang aneh ini. Jonghyun, sosokku saat aku berumur sepuluh tahun, kini menatapku lekat. Tangannya kemudian menggamit tanganku dan membawaku menuju dapur.

Entah ada yang aneh dengan penglihatanku atau tidak. Mataku menangkap dua sosok yang sangat tidak asing di dapur. Ayah dan diriku saat berumur sepuluh tahun. Aku ingat kejadian ini. Bersusah payah aku menggambar sosok ayah, ibu, dan aku di tengah-tengah mereka. Dengan senyum sumringah aku menghampiri ayahku yang masih sibuk bicara melalui ponselnya. Senyumku semakin melebar saat ayah meraih gambar hasil karyaku yang aku sodorkan padanya. Namun senyum itu memudar karena ayah justru malah meletakkannya di atas piring-piring kotor tanpa melihatnya sedikitpun. Lawan bicaranya saat itu lebih penting baginya.

Sosokku yang berumur sepuluh tahun yang masih menggenggam tanganku mulai menarikku menuju meja makan. Dalam beberapa detik cahaya matahari digantikan oleh bulan.

Aku melihat sosok ibu duduk termenung di meja makan. Aku yakin sekali masakan spesial yang sudah susah payah ibu buat sudah tidak hangat lagi. Bahkan lilin panjang di tengah meja makan sudah sangat mengecil karena api yang dibiarkan menyala. Wajah ibu tiba-tiba mengeras. Meraih piring-piring itu, membawanya satu persatu ke dapur, dan membuang masakan yang masih utuh itu ke tempat sampah.

“Kenapa dibuang, bu?” sosokku yang berumur sepuluh tahun tiba-tiba muncul melewati kami berdua begitu saja sambil menggosok-gosok matanya dengan jari telunjuknya.

Ah, aku ingat! Dulu aku memang sempat melihat ibu membuang-buang makanan ke tempat sampah. Saat itu aku merasa haus, bangkit dari tidurku dan melirik jam yang menunjukkan hampir jam dua pagi.

“Sudah basi!” jawab ibu sekenanya.

“Memang ayah belum memakannya? Ayah sudah pulang? Aku belum mengucapkan selamat ulang tahun padanya, padahal ulang tahunnya kemarin. Ayah sibuk sekali sampai-sampai aku tidak sempat bertemu dengannya di hari ulang tahunnya,” kataku begitu polos. Dan seketika ibu menangis. Aku bertanya kenapa tapi dia tidak menjawab.

Aku menangis. Kini aku menangis. Air asin yang keluar dari mataku kini bahkan masuk ke dalam mulutku saking derasnya. Sakit sekali melihat ibu menangis. Dulu aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi hingga saat ibu menangis aku malah meninggalkannya di dapur dan melanjutkan tidurku. Namun sekarang aku paham. Melihat ibu menangis rasanya hatiku seperti tercabik-cabik.

Tangan mungil yang sejak tadi menggenggam tanganku kembali membawaku pergi menuju sudut ruangan lain. Membawaku melangkah menaiki anak tangga satu persatu secara perlahan.

Dari luar kamar ayah dan ibu, mataku menangkap sosok ibu yang sedang duduk di sudut tepi tempat tidurnya. Tangannya menggosok tengkuknya sendiri. Rambutnya sedikit berantakan, seperti wajahnya saat itu. Tangannya membuka paksa tutup botol kecil yang sedari tadi digenggamnya dan menuangkan tiga pil sekaligus ke telapak tangan satunya lagi. Kemudian memasukkan pil-pil itu ke dalam mulutnya tanpa meminum air sedikitpun. Terdengar suara helaan nafas darinya. Seolah merasa tenang karena pil penenang yang telah ia minum melebihi dosis takaran.

Mata merah ibu kini terarah padaku. Tidak! Pada bocah Jonghyun yang ternyata sedang duduk di belakangku. Ingatanku kembali terngiang di masa lalu. Duduk di depan kamar ibu, melihatnya sedang meminum sesuatu yang tidak aku ketahui itu obat apa. Sedikit tersentak karena ibu tiba-tiba melihatku dengan mata merahnya. Ibu bangkit berdiri dan membanting pintu, sama seperti yang aku lihat sekarang ini.

Bocah Jonghyun yang masih menggenggamku menarikku menembus pintu kamar ayah dan ibu. Melihat ibu menangis adalah hal yang sangat menyakitkan. Isakannya seperti sebuah decitan besi di lantai yang mampu membuatku ngilu. Hanya saja kali ini hatiku ikut terasa ngilu. Tidak pernah menyangka ibu ternyata semenderita ini. Dan aku baru memahaminya sekarang. Melihat ibu begini, air mataku kembali tumpah ruah.

Aku kembali berjalan menuju ke lantai bawah. Sosokku yang berumur sepuluh tahun membawaku menuju ruang keluarga yang dulu sangat aku rindukan. Setiap hari Sabtu biasanya aku, ayah dan ibu berkumpul di sana seharian. Bercengkerama, bertanding playstation, atau bahkan menari bersama mengikuti gerakan-gerakan boyband atau girlband dari televisi. Masa-masa itu hilang ketika perusahaan ayah meningkat pesat.

Kini mataku menangkap sosok ayah dan ibu yang duduk saling acuh. Mereka hanya terdiam sebelum ibu membuka suara terlebih dahulu.

Kita bercerai saja!”

“Bercerai? Seenaknya kau bilang kata itu?”

BRAK! Ibu menggebrak meja di depannya. Nafasnya kini tidak beraturan.

“Aku lelah! Tidak ada gunanya lagi kita mempertahankan hubungan ini!”

Hal yang tidak terduga adalah ayah mengangkat meja itu dengan kasar hingga barang-barang yang ada di atasnya jatuh terpelanting. Ayah bangkit berdiri dan meninggalkan ibu yang mulai terisak. Sudah berapa kali ibu menangis di belakangku selama ini dan dia menyembunyikannya dengan senyuman seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku yakin, saat ini bocah Jonghyun sedang terduduk lemas di balik pintu kamarnya karena mendengar suara-suara keras itu. Menahan tangis dengan menggigit jarinya sendiri hingga berdarah. Hahaha! Bahkan luka itu masih membekas di telunjukku hingga sekarang.

Kami berdua melangkah menuju pintu depan. Ada sosok kecilku di sana, merasa bingung begitu melihat beberapa koper teronggok di dekat pintu. Ayah muncul dari belakang, menembus tubuhku begitu saja. Mengangkat tiga koper sekaligus dan berjalan keluar tanpa menghiraukan aku saat itu. Masih tersisa satu koper dan saat itu aku berinisiatif membantu ayah mengangkutnya ke mobil. Entah kenapa tangan kecilku tidak mau lepas dari koper itu hingga ayah sendiri turun tangan melepas tanganku.

Ayah mau ke mana? Aku boleh ikut?”

“Kau di sini saja!” katanya dingin seolah aku bukan anaknya.

Dan aku hanya bisa diam terpaku saat itu, menangis melihat mobil ayah yang mulai menjauh. Tidak mengira kalau ayah tidak akan pernah kembali lagi.

Apa maksud semua ini, Tuhan? Apa alasan-Mu memperlihatkan semua kenangan pahit ini? Hatiku kembali terasa sakit seperti tersayat tajamnya silet yang belum pernah dipakai sekalipun.

Rasa bersalah tiba-tiba muncul.

Aku tidak mau anak laki-lakiku mengalami nasib yang sama sepertiku dulu. Aku tidak mau istriku mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini kecuali mereka berdua.

Biarkan aku menangis saat ini. Menangisi ketololanku sendiri. Sangat tolol karena begitu mudahnya melupakan janjiku sendiri untuk menjaga keutuhan rumah tanggaku, menjauhi masa laluku.

Maafkan aku Shin Chaerim! Maafkan aku Lee Jaebum!

Tanganku tiba-tiba terasa kosong. Sosokku dulu yang sedari tadi menggenggam tanganku tanpa melepaskannya barang sejenak kini sudah menghilang.

Kembali kumasuki rumahku. Rumah kenangan pahit. Rumah yang hingga kini masih kutempati.

Chaerim masih berdiri kaku di sana. Kuambil bingkai foto yang ingin dihancurkannya. Bagaimanapun aku tidak mau foto kami bertiga hancur, seperti hancurnya keluargaku dulu.

Chaerim bergerak. Langsung kupeluk tubuhnya yang sudah lama tidak kusentuh karena pekerjaan-pekerjaan yang selalu menyita waktuku. Dia hanya terdiam. Mungkin bingung kenapa aku tiba-tiba memeluknya.

“Maafkan aku, chagiya! Aku memang bodoh! Tolong jangan pergi dariku! Aku mohon!” kataku lirih.

Kubenamkan wajahku dibahunya. Bajunya basah karena air mataku yang tidak mampu kubendung. Kurasakan bahunya bergetar. Chaerim menangis. Tangisan yang sama seperti yang aku dengar tadi. Tangisan ibu. Sesakit itukah istriku selama ini? Dan aku –suaminya- tidak menyadari kalau istriku sendiri menderita sendirian.

Tidak hanya menangis. Kami berdua terisak. Dan tak lama tangan Chaerim melingkar dipinggangku. Menangis sesenggukkan. Aku tidak pernah mendengarnya menangis seperti ini. Sangat menyakitkan mendengar orang-orang yang sangat kucintai menangis. Menangis karena suami mereka yang bodoh.

“Maafkan aku!” kataku lagi.

Chaerim menjauhkan diri sejenak dariku. Menatap mataku dengan sangat lekat. Pancarannya seolah memperlihatkan rasa sakitnya yang selama ini dia pendam. Air matanya terus saja mengalir. Sakit sekali melihatnya serapuh ini.

Kedua tangannya merengkuh kedua pipiku. Mengelus-elus lembut dan kemudian menarik wajahku hingga bibir kami bertemu. Ciuman singkat yang sangat menyakitkan. Semoga ini bukan ciuman perpisahan darinya.

“Bisa tarik kata-katamu tadi?”

“Tidak!”

Satu kata itu seperti melemparku ke dalam jurang yang dalam. Chaerim benar-benar ingin berpisah dariku. Memang hukuman yang pantas untuk seorang suami yang lebih mementingkan pekerjaan sepertiku ini.

“Aku tidak ingat tadi aku berkata apa!”

Seulas senyum terbentuk di bibirnya. Mau tidak mau aku ikut tersenyum. Aku merasa seperti tidak pernah sesenang ini.

CKLEK!

Kami berdua sama-sama menoleh ke arah pintu kamar Jaebum. Muncul bocah laki-laki berumur enam tahun dengan replika power ranger mini di genggamannya. Matanya bengkak. Mungkin karena menangis di balik pintu sepertiku dulu.

Chaerim menggamit tanganku dan menarikku menghampiri Jaebum. Tangannya menuntunku untuk memeluk anakku sendiri yang bahkan aku tidak tahu kapan terakhir aku memeluknya seerat ini.

Aku berjanji! Atas nama Tuhan aku berjanji akan menjaga mereka layaknya suami dan ayah yang baik. Tidak akan ada lagi air mata karena ayah bodoh seperti aku dan ayahku. Aku berjanji!

 

I lose my way
And it’s not too long before you point it out
I cannot cry
Because you know that’s weakness in your eyes
I’m forced to fake
A smile, a laugh everyday of my life
My heart can’t possibly break
When it wasn’t even whole to start with

Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side so I don’t get hurt
Because of you
I find it hard to trust not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid

I watched you die
I heard you cry every night in your sleep
I was so young
You should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain
And now I cry in the middle of the night
For the same damn thing

Because of you
I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side so I don’t get hurt
Because of you
I try my hardest just to forget everything
Because of you
I don’t know how to let anyone else in
Because of you
I’m ashamed of my life because it’s empty
Because of you
I am afraid

Because of you
Because of you

 

-END-

 

Ga ngebingungin, kan? Pokoknya muncul sosok Jonghyun kecil, ngajakin Jonghyun ke masa lalu.

Tanyain aja bagian mana yg bikin bingung.

dan KOMENTARNYA!!!!

 

 

 

 

26 thoughts on “Because Of You [songfic]

    • ini lagu tersedih yang pernah aku dengar.
      haha ceritanya aku samain sama MV, karena happy ending aku bikin happy juga
      makasih ya udah baca 🙂

  1. gga bingung mmpebb..ini bagusssssssss…ada nilai yang bisa dipetik :3 yah buat future wifenya jonghyun…maybe bakal kayak songfic ini..kudu kuat nunggu sampek malam..bahkan pagi..jarang pulang,,bisa jadi…

  2. eonni keren banget loh sumpah deh gak boong, aku nangis pas bacanya T.T
    sedihnya itu loh menyayat nyayat hati banget (?)
    tentang jonghyun kecilnya, aku ngerti kok eon 😀

  3. Ngga membingungkan kok.. Mski ga dgr lagunya, tp dgn ngebaca ckup mmbwt aku larut dlm crta.. Keren bngt! Dpt bnyk pesan moral dr ff ini *halah. Nice ff eon! 🙂

  4. wah… marga istri jonghyun ama aku sama ya… #abaikan..

    Feel nya dapet jadi pas baca ff ini aku jadi ngebayangi satu film yang aku pernah nonton.. tapi aku lupa judulnya ap.. *plakk..

    Pokonya aku suka ff ini… jadi ngerasa nonton film itu lagi ^^

  5. jiaaahhh eonn sedih bangettt T-T
    gak aneh malah jonghyun kecil dateng nemuin jonghyun dewasa,hebat malahan kau bisa bikin kayak gitu. imajinasimu sangat bagus eon ^^ kutunggu ff lainnya ya

    • kkkk, ini sama banget kok kayak di MV nya, bukan imajinasi aku XD aku cuma buat sesuai apa yg di MV itu ceritain..
      makasih ya udah baca 🙂

Leave a reply to lovely18 Cancel reply