Black Flower [Chapter 3]

black flower 1

Author: ree & teetwilight

Genre: AU, tragedy, crime, romance

Rating: PG-15

Length: chaptered

Male Casts:

Lee Jonghyun CN Blue

Jung Yonghwa CN Blue

Lee Jungshin CN Blue

Kang Minhyuk CN Blue

Choi Minho SHINee

Cho Kyuhyun Super Junior

Female Casts:

Sulli Choi f(x)

Choi Sooyoung SNSD

Tiffany Hwang SNSD

Suzy Bae Miss A

Krystal Jung f(x)

Disclaimer: The whole story and characters are fictional and for entertainment purpose only. Any copyright infringement will be punished according to the applicable law.

Previous: Teaser | 1 | 2

Note: Karena cast-nya banyak, jadi mohon perhatikan baik-baik setiap POV yang tertera di atas supaya tidak bingung. Gomawo

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Seoul Metropolitan Police Station, Gwanghwamun, Seoul

11.45 AM

-Jung Yonghwa’s POV-

“Dimarahi lagi?”

Baru saja aku menutup pintu ketika mendengar suara tersebut. Inspektur Kwon, yang entah sejak kapan berdiri di belakang pintu sedang memandangku dengan seksama layaknya aku adalah seorang penjahat yang tertangkap basah. Kedua alisnya naik, pertanda bahwa pertanyaannya barusan adalah setengah sindiran untukku.

“Hm.” Gumamku singkat, kemudian berlalu dari hadapannya. Aku sudah cukup lama menjadi partner kerja Inspektur Kwon, dan aku tahu persis apa yang akan dia lakukan; menasihatiku ini itu layaknya seorang ayah pada anak gadisnya padahal mendengar ceramah Inspektur Park barusan sudah membuatku muak. Oh come on, haruskah dia menambahnya lagi?

Baru berjalan beberapa langkah, kurasakan Inspektur Kwon sudah menepuk bahuku dan berjalan mengimbangi langkahku, “Memang apa yang kau ributkan di club sampai wajahmu memar begitu? Wanita?”

Aku mendengus. Pertanyaannya membuatku teringat lagi pada rangkaian kejadian kemarin malam, sampai akhirnya dengan terpaksa aku harus masuk kantor dengan luka lebam di wajah dan mendapat teguran dari Inspektur Park yang mengira aku sengaja mencari keributan dan berkelahi dengan beberapa orang di club malam. Aish, kenapa berbuat kebaikan sepertinya sulit sekali?! Aku kan hanya ingin menolong orang─dan kebetulan memang dia wanita─yang lemah, apa itu salah?!

“Kau tidak tahu permasalahannya, Inspektur.” Jawabku enggan.

“Kalau begitu ceritakan padaku.”

“Ah, sudahlah. Aku tidak punya waktu untuk membahasnya.” Kupercepat langkah menuju ruang kerjaku. Mood-ku sedang tidak baik sekarang. Belum lagi cincinku yang hilang, dan penyelidikan KJH enterprises yang diminta jaksa Lee Jonghyun tidak membuahkan hasil. Aku sama sekali tidak mendapatkan informasi mengenai perusahaan yang sekarang sedang naik daun itu. Benar-benar aneh.

Baru saja aku hendak membuka pintu ruang kerjaku ketika tiba-tiba saja ponselku bergetar. Segera kukeluarkan alat komunikasi itu dari dalam kantong celanaku dan melihat display-nya; telepon dari Jungshin.

Dahiku sedikit mengernyit. Tidak biasanya laki-laki itu menghubungiku di siang hari seperti ini.

“Ah, Jungshin-ah, wae geurae?”

***

An Italian Restaurant, Itaewon, Seoul

12.20 PM

-Author’s POV-

“Wajahmu kelihatan cerah, Jungshin-ah.”

Jungshin yang sedang menyuapkan pasta kedalam mulutnya melirik ke arah Yonghwa, “Mwo?”

Yonghwa, yang sekarang sedang duduk dihadapan Jungshin kemudian tersenyum kecil, “Ceritakan padaku.”

“Cerita? Ceritakan apa maksudmu?”

Yonghwa meletakkan garpu yang dipegangnya ke atas piring dan menatapnya lurus, “Pasti ada sesuatu yang mau kau ceritakan sampai tiba-tiba mengajakku makan siang di restoran langgananmu ini.”

“Langgananmu juga.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Lee Jungshin.”

Jungshin menghela napas panjang, kemudian mengambil gelas yang berada dihadapannya dan meneguknya. Dari gerak-geriknya, Yonghwa tahu dia gugup. Tidak biasanya dia gugup seperti ini, dan ia tahu persis apa penyebabnya.

“Kau baru saja bertemu dengan seorang gadis…” gumam Yonghwa, berusaha membaca ekspresi wajah Jungshin.

Mendengar ucapan Yonghwa, Jungshin segera menghentikan kegiatan minumnya. Ia memukul-mukul dadanya pelan sambil terbatuk kecil. Yonghwa tersenyum jahil. Berarti dugaannya tepat sasaran.

“Dan kau menyukainya…” lanjutnya.

“Bukan begitu, aku…”

“Kau belum berani menyatakan perasaanmu padanya…”

“Hyung…”

Yonghwa meletakkan sebelah tangannya di dagu dengan pose seolah-olah sedang berpikir, “Kurasa tidak begitu sulit bagimu mendekati seorang gadis… Oh! Atau… dia sudah punya kekasih?”

“Ya~! Hyung!” Jungshin sedikit meninggikan nada suaranya, namun masih dalam batas volume  wajar. Ia melirik sekilas ke kiri dan kanan, dan diam-diam bernapas lega karena perbuatannya tadi tidak sampai menarik perhatian pengunjung lain.

“Sejak kapan kau jadi pemalu seperti ini, Jungshin-ah?” tanya Yonghwa sarkastik yang sukses membuat Jungshin semakin salah tingkah.

“Dan sejak kapan kau menyukainya?”

Jungshin menghela napas panjang, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi. Terkadang mempunyai sahabat seorang detektif ada tidak enaknya juga. Kau tidak bisa berbohong dihadapannya sekalipun kau menyembunyikannya mati-matian.

“Namanya Choi Sulli…” jelas Jungshin lirih, lebih terdengar seperti gumaman.

Yonghwa menghentikan makannya dan menatap Jungshin. Mencoba mendengarkan ceritanya dengan seksama.

“Aku… bertemu dengannya di studioku. Dia mahasiswi Seoul University yang sedang menjalankan project Fashion Show dengan aku sebagai modelnya.”

Yonghwa mengangguk-angguk, “Pasti dia gadis yang baik.”

Jungshin tersenyum, “Dia sangat lugu dan manis…”

“Wah, kelihatannya bunga-bunga cinta sedang bermekaran. Coba lihat, mereka menghujanimu.” Gurau Yonghwa. Ia mengadahkan sebelah tangannya ke udara seolah-olah sedang merasakan guguran ratusan kelopak bunga cinta yang jatuh ke telapak tangannya.

“Ya~! Jangan menggodaku, hyung!”

Yonghwa terkekeh. Melihat sahabat yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu bahagia, ia juga ikut merasa bahagia. Walaupun sebenarnya ia masih merasa ada sesuatu yang mengganjal.

“Hanya ada satu hal…” lanjut Jungshin.

“Dia sudah punya kekasih?” tebak Yonghwa.

Kali ini Jungshin menghela napas berat, “Choi Minho… Sepertinya laki-laki itu seniornya di universitas.”

Yonghwa sedikit mencondongkan badannya ke depan dan menepuk pundak Jungshin sekilas, “Hal seperti itu memang sering terjadi. Kau tidak usah khawatir.”

“Maksudmu? Aku harus menunggunya? Atau harus merebutnya?”

“Tergantung bagaimana responnya padamu.”

Jungshin terdiam. Manusia tentu tidak bisa mengatur perasaannya dan memilih siapa orang yang dicintainya. Hatinya sudah terlanjur tertambat pada sosok seorang Choi Sulli, dan ia tidak bisa mundur lagi. Bukankah ia masih memiliki kemungkinan gadis itu akan tertarik padanya dan memiliki perasaan yang sama? Meskipun dia sekarang memiliki kekasih, itu bukan akhir dari segalanya kan?

“Ah, kau tahu hyung? Dia adik kandung Choi Sooyoung.” Tiba-tiba Jungshin berujar, “Setelah mendengar itu, aku jadi langsung teringat pada kasus yang sedang kau tangani.”

Yonghwa terbelalak, “Apa katamu tadi? Adik Choi Sooyoung? Jadi adik Choi Sooyoung bernama Choi Sulli?”

Jungshin mengangguk.

“Apa saja yang dia ceritakan padamu?” tanya Yonghwa antusias. Sahabatnya itu ternyata memiliki hubungan dengan adik seorang saksi penting dalam kasus yang sedang ditanganinya. Benar-benar sebuah kebetulan yang menguntungkan dan tidak disangka-sangka.

“Dua hari yang lalu dia sangat sedih ketika kami mulai membicarakan Choi Sooyoung. Tapi tadi pagi wajahnya sangat sumringah. Dia bilang eonni-nya itu sudah bisa bicara lagi.”

“Bi…bicara? Choi Sooyoung sudah bisa bicara?!”

“Aku yakin ekspresimu akan seperti itu. Ya, itu memang benar. Sulli sendiri yang mengatakannya padaku.”

Yonghwa mengangguk-angguk. Semangatnya yang mulai mengendur seketika kembali lagi setelah mendengar pernyataan Jungshin barusan. Laki-laki itu baru saja mengatakan sebuah informasi yang sangat penting baginya. Dan yang harus dilakukannya sekarang adalah memikirkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.

“Kau boleh pergi kalau kau mau.” Celetuk Jungshin ketika melihat Yonghwa melirik jam tangannya. Ia tahu laki-laki itu sudah tidak sabar untuk menjalankan’aksinya’.

Yonghwa menoleh ke arah Jungshin seolah berkata ‘kau yakin?’ yang langsung dibalas dengan anggukan laki-laki itu.

Yonghwa tersenyum sekilas, kemudian segera bangkit dari kursinya, “Gomawo, Jungshin-ah.” Ia pun bergegas menuju pintu keluar.

“Hati-hati, hyung. Jangan terburu-buru.”

***

 

Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, Seoul

1.45 PM

-Krystal’s POV-

Baru saja aku hendak melangkah memasuki ruanganku ketika mendengar seseorang memanggilku.

“Jung uisanim!”

Aku menoleh ke belakang dan mendapati nona Park, salah satu perawat di rumah sakit ini, berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Di tangannya tergenggam sebuah map yang berukuran cukup besar.

“Ini hasil rontgen nona Kim tadi.” Ujarnya sambil menyerahkan map itu padaku.

Aku pun mengambil map tersebut dan memperhatikan hasil rontgen yang ada didalamnya, “Lalu, dimana dia sekarang?” tanyaku sambil melepas masker yang kupakai.

“Setelah pemeriksaan tadi dia langsung pulang. Katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia juga meminta agar operasinya dilakukan besok siang saja.”

Aku mengangguk-angguk, kemudian melangkah masuk ke ruanganku diikuti nona Park. Kuperhatikan lagi hasil rontgen tadi dengan seksama. Diam-diam aku sedikit bersyukur karena pasienku yang bernama nona Kim itu tidak meminta untuk melaksanakan operasi hari ini juga, karena aku baru saja menyelesaikan operasi sebelumnya dan itu cukup melelahkan.

Oh ya, apa aku sudah memberitahu kalau aku ini seorang dokter bedah plastik?

“Hmm… memang tulang hidungnya sedikit bengkok, tapi tidak ada masalah dengan tulang rahang bawahnya.” Gumamku.

“Ng… tapi uisanim, nona Kim meminta untuk operasi peruncingan dagu juga.”

Aku menoleh cepat ke arah nona Park, dan terdiam selama beberapa saat. Dia yang sudah beberapa bulan terakhir ini bekerja denganku pasti tahu kalau aku tidak begitu senang mendengar hal itu, maka dari itu ia sedikit takut-takut saat mengatakannya tadi. Yah, setidaknya itu yang kurasakan.

Aku menghela napas berat, “Baiklah…”

Baik aku maupun nona Park sama-sama terdiam. Jujur, ini sedikit berat bagiku. Aku adalah seorang dokter bedah plastik, aku tahu betul akan hal itu. Tapi tujuan awalku adalah menolong orang-orang yang mengalami kecelakaan atau cacat fisik sejak lahir agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakan orang-orang normal lainnya, bukan merubah apa yang diberikan secara sempurna oleh Tuhan. Tapi bagaimanapun juga ini adalah resiko pekerjaan, dan aku harus menerimanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Kami berdua sama-sama menoleh. Dibalik pintu yang sedikit terbuka muncullah seseorang yang sudah sangat tidak asing lagi bagiku.

Minhyuk menjulurkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke arahku, kemudian menunjuk-nunjuk jam tangannya.

Aku yang mengerti dengan isyarat itu lalu mengangguk, “Nona Park, bisa kita lanjutkan nanti?” kulirik jam dinding yang ada di ruangan ini, “Sekitar 30 menit lagi. Kau boleh istirahat siang dulu.”

Nona Park melirik sekilas ke arah Minhyuk yang masih berdiri dibalik pintu, kemudian tersenyum ke arahku, “Baiklah, aku mengerti, uisanim. Selamat menikmati istirahat siangmu.”

Aku balas tersenyum sekilas, kemudian bergegas menuju pintu, “Kamsahamnida.”

***

 

-Author’s POV-

“Selama ini kau selalu menyuruhku agar makan teratur, tapi kau sendiri? Sudah jam segini tapi belum makan siang.” Komentar Minhyuk ketika Krystal baru saja melangkah keluar.

“Aku baru saja selesai mengoperasi, Kang Minhyuk…”

Minhyuk melirik jam tangannya dan mendecak kecil, “Ya sudah, sekarang kita makan.” Ia menarik tangan Krystal, namun gadis itu tetap bertahan pada tempatnya.

“Tunggu! Aku kan sudah bawa bekal…”

“Ini kan?” laki-laki itu menunjukkan sebuah tas jinjing kecil berisi lunch box sambil tersenyum jahil.

“Bagaimana kau bisa…”

“Ini ketinggalan di mobilku, tahu!” Minhyuk menyentil pelan kening Krystal. Tadi pagi ia memang menjemput Krystal di rumahnya, sesuatu yang jarang dilakukannya mengingat kesibukan mereka berdua yang sama-sama seorang tenaga medis. Dan sepertinya gadis itu tidak sadar kalau lunch box yang dibawanya tertinggal didalam mobilnya.

“Nih! Sudah cepat makan sana!” Minhyuk menyodorkan lunch box itu pada Krystal, “Dasar! Kenapa cuma bawa satu bekal?”

“Jadi kau mau kubuatkan juga?”

“Kalau kau bisa membuatkannya, kenapa tidak?”

Krystal menatap laki-laki itu sejenak. Tanpa sadar sebuah senyum tersungging di bibirnya, “Baiklah, besok…”

“Ah, Kang uisanim!” kata-kata Krystal terputus ketika tiba-tiba saja seseorang memanggil Minhyuk. Kedua orang itu sama-sama menoleh.

“Ada seseorang yang mencari anda. Sekarang dia menunggu di kafetaria.” Jelas seorang perawat laki-laki yang memanggil Minhyuk tadi.

“Sekarang aku sedang istirahat. Suruh dia menunggu sekitar 30 menit lagi.” Jawab Minhyuk cepat. Jelas sekali ia tidak ingin waktu yang dianggapnya ‘sangat berharga’ ini terganggu.

“Tapi ini sangat penting. Dia seseorang dari kepolisian.”

“Kepolisian?” Minhyuk dan Krystal saling berpandangan. Kemudian Krystal mengangguk samar, mengisyaratkan agar laki-laki itu sebaiknya segera menemui orang tersebut.

“Baiklah, aku akan segera kesana.”

“Ah, tunggu!” tahan Krystal sambil menarik tangan Minhyuk. Gadis itu kemudian menggenggamkan tas jinjing kecil yang dibawanya ke tangan laki-laki itu, “Untukmu. Bawa saja bekal ini.”

“Gomawo.” Minhyuk tersenyum sekilas sambil menepuk pelan puncak kepala Krystal, kemudian berjalan meninggalkan gadis itu.

“Yah, mungkin sekarang belum saatnya kan?”

***

Yonghwa sedang duduk bersandar sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja ketika mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Setelah melihat siapa yang datang, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan mengedikkan kepalanya sekilas.

“Saya detektif Jung Yonghwa. Maaf mengganggu waktu makan siang anda.” Ujar Yonghwa sopan setelah menunjukkan identitasnya pada Minhyuk.

“Tidak apa-apa.” Jawab Minhyuk ramah. Kemudian mereka berdua pun duduk berhadapan.

Tanpa sengaja pandangan Yonghwa mengarah pada sesuatu yang dipegang oleh psikiater muda dihadapannya itu; sebuah lunch box berwarna abu-abu bergaris turquoise, menunjukkan bahwa laki-laki itu hendak menikmati waktu istirahatnya sebelum ia datang, mungkin bersama ‘seseorang’ yang membawakan bekal itu. Diam-diam ia merasa sedikit bersalah karena waktu kedatangannya yang tidak tepat, pria itu jadi harus menunda jam makan siangnya.

“Maksud kedatangan saya kesini adalah untuk menanyakan beberapa hal, sekaligus meminta izin.” Jelas Yonghwa, memutuskan untuk langsung masuk ke inti pembicaraan karena sebenarnya ia juga tidak punya banyak waktu.

“Meminta izin?” tanya Minhyuk tidak mengerti.

“Kudengar nona Choi Sooyoung sudah bisa bicara. Apa itu benar?”

Minhyuk tidak langsung menjawab. Ia menatap Yonghwa selama beberapa saat. Rasanya, ia baru mengerti kemana arah pembicaraan ini.

“Ya. Itu benar.” Jawabnya kemudian.

“Kalau boleh tahu, apa yang mendorongnya sehingga bisa mengalami kemajuan sepesat itu? Dan… apa kata pertama yang diucapkannya?”

“Kau tampak tergesa-gesa, detektif.” Ujar Minhyuk tenang.

Yonghwa sedikit tersentak, “Maafkan saya, saya tidak punya waktu. Banyak hal lain yang harus saya selidiki hanya untuk satu kasus ini. Jadi bagaimanapun juga, saya harus mendapatkan informasi secepat mungkin.”

“Saya mengerti.” Minhyuk meletakkan kedua tangannya ke atas meja. Penyelidikan kasus pembunuhan Choi Siwon yang melibatkan Choi Sooyoung ini memang sudah berjalan empat bulan tanpa menghasilkan kemajuan yang signifikan. Maka dari itulah ia bisa mengerti jika detektif dihadapannya itu sangat haus akan informasi sekecil apapun.

“Apa yang ingin anda ketahui?” tanya Minhyuk kemudian.

“Semua yang terjadi pada nona Choi Sooyoung, hingga akhirnya dia mau berbicara lagi.” Jawab Yonghwa serius.

Minhyuk menghela napas pelan. Orang yang duduk dihadapannya saat ini adalah anggota kepolisian yang bertugas menangani kasus tersebut. Jadi bagaimanapun juga ia harus mengatakan sesuai dengan permintaan detektif itu, menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

“Kalau begitu, apa setelah ini aku boleh meminta satu hal?” ujar Yonghwa setelah Minhyuk selesai menceritakan kondisi Choi Sooyoung.

“Apa itu?”

“Bisakah anda membawa saya ke kediaman keluarga Choi untuk menemui nona Choi Sooyoung? Saya sudah mencoba datang kesana sebelumnya namun keluarganya menolak karena tidak ingin kondisinya kembali terganggu.”

“Itu jelas saja, detektif Jung. Kondisi nona Choi baru saja mengalami peningkatan setelah sekian lama. Jika anda datang dan bermaksud ingin menggali informasi langsung mengenai pembunuhan tersebut dari orangnya, anda bisa dianggapnya sebuah ancaman dan dia bisa kembali terguncang. Dan keluarganya tidak ingin hal itu terjadi.”

“Tidak bisakah anda mengusahakannya? Saya akan mencoba bicara baik-baik.”

“Saya rasa informasi yang saya sampaikan tadi sudah cukup, detektif. Jika anda tetap memaksa bertemu dengan nona Choi, silakan tunggu beberapa hari dan usahakan anda datang bersama saya.”

Yonghwa mendengus pelan. Ternyata kepulihan Choi Sooyoung tidak serta-merta membuat pekerjaannya untuk menyelesaikan kasus ini menjadi mudah. Setidaknya ia harus bersabar hingga kondisi gadis itu menjadi stabil dan siap untuk kembali dihadapkan pada memori tentang pembunuhan itu, memori yang mungkin sampai saat ini masih sangat dibencinya.

Melihat Yonghwa yang tampak sibuk dengan pikirannya, Minhyuk lalu bangkit dari tempat duduknya, “Baiklah, detektif. Jika tidak ada lagi yang ingin anda katakan, saya permisi dulu. Masih ada hal lain yang harus saya lakukan.”

Yonghwa menoleh ke arah Minhyuk, kemudian mengangguk, “Ah, ye, uisanim. Terima kasih atas informasi yang anda berikan.”

***

 

Itaewon, Seoul

9.50 PM

-Author’s POV-

“Tiiiiinn…! Tiiiiiinnn…!!”

Yonghwa menekan klakson mobilnya dengan kasar. Bagaimana tidak? Dihadapannya sekarang terdapat sebuah motor sport yang terparkir tidak pada tempatnya sehingga menghalangi jalannya untuk masuk ke club.

Yonghwa kembali menekan klakson, berharap agar si pemilik motor yang berada disampingnya bisa segera sadar dan memindahkan kendaraannya dari sana. Namun nyatanya orang itu sama sekali tidak merespon. Laki-laki itu mendengus, lalu memutuskan untuk keluar dari mobil dan berbicara pada pemilik motor itu.

“Ya~! Bisakah kau memindahkan motormu?! Ini tempat parkir mobil!” Yonghwa berusaha sebisa mungkin menekan emosinya. Ia sudah cukup lelah hari ini dan tidak ingin membuat masalah baru yang akan menjadi masalah keesokan harinya.

Orang itu kemudian menoleh. Yonghwa sangat terkejut begitu melihat siapa pemilik motor itu, begitu pula sebaliknya.

“Kau?! Sedang apa kau disini?!” tanya Suzy, gadis pemilik motor sport berwarna gold tersebut. Sebelah tangannya menggenggam helm berwarna hitam. Jaket kulitnya sudah terpasang sempurna dan rambut panjangnya diikat ke belakang. Tampaknya gadis itu sudah bersiap-siap untuk pulang.

“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kau disini?!” tanya Yonghwa tak kalah sengit, “Hampir setiap hari aku datang ke tempat ini!”

“Ini juga bukan pertama kalinya aku datang kesini!”

Yonghwa mendengus pelan, “Sudahlah, cepat pindahkan motormu. Aku tidak bisa parkir.”

Suzy menoleh ke arah motornya. Rupanya sedari tadi ia memang salah memarkirkan motor. Sebenarnya bukan ia yang menaruh motornya disitu, karena sejak kemarin motor tersebut ditinggal di club ini karena ia harus mengantarkan Yonghwa ke rumahnya. Dan hari ini ia datang kesini untuk mengambilnya.

Gadis itu kemudian bergegas memindahkan motornya ke pinggir, memberikan akses bagi Bugatti Veyron hitam milik Yonghwa untuk parkir.

Yonghwa yang memperhatikan gerak-gerik Suzy tanpa sengaja melihat sebuah benda berkilauan yang melingkar di jari tengah tangan kiri gadis itu. Dilihatnya baik-baik benda tersebut, dan terkejut ketika menyadari bahwa benda itu adalah cincin perak miliknya yang hilang sejak kemarin. Dari bentuknya, ia benar-benar yakin kalau itu adalah cincinnya.

“Tunggu!” Yonghwa menahan tangan Suzy, “Ini… Dari mana kau dapatkan ini?!”

“Kau ini apa-apaan?!” Suzy menepis tangan Yonghwa, kemudian ikut memperhatikan cincin di jarinya, “Ini milikku.”

“Bohong!”

“Dari mana kau tahu aku berbohong?! Itu bukan urusanmu!”

“Jelas saja urusanku! Karena cincin itu milikku! Kau pasti yang mencurinya!”

“Jangan sembarangan menuduh! Kau tidak punya bukti kan? Apa kau punya bukti kalau cincin ini milikmu?!” cecar Suzy. Ia lalu bergegas memakai helm-nya dan naik ke atas motor, bersiap untuk pergi. Ia tidak ingin memulai perdebatan lagi dengan laki-laki itu.

“Hei! Dengarkan aku dulu!” Yonghwa berusaha menahan Suzy yang mulai men-stater motornya dan berbalik ke arah gerbang keluar.

“Hyung, sedang apa disini? Kenapa tidak masuk?” tiba-tiba Jungshin datang dan menepuk bahu Yonghwa.

Yonghwa menoleh, “Ah, Jungshin-ah.” Kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke arah Suzy, namun gadis itu sudah melesatkan motornya menjauh.

“Ya~! Kau!!” teriak Yonghwa, berharap agar gadis itu dapat mendengarnya walaupun ia tahu itu sia-sia saja.

“Apa yang terjadi, hyung? Kenapa kau tidak memarkirkan mobilmu dengan benar?” tanya Jungshin setelah melihat posisi mobil laki-laki yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri itu.

“Gadis itu… dia mengambil cincinku… Aish!” Yonghwa mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Sudahlah, lebih baik kau ceritakan didalam.” Jungshin menepuk-nepuk pelan bahu Yonghwa, kemudian memanggil seorang petugas valet parking didepan club tersebut untuk memarkirkan mobil laki-laki itu.

***

“Kau yakin kalau itu cincinmu? Bagaimana bisa ada padanya?” tanya Jo Kwon sambil menuangkan bir kedalam gelas Yonghwa dan Jungshin.

“Tidak salah lagi. Itu pasti milikku. Aku juga tidak tahu bagaimana cincin itu bisa sampai di tangannya.” Jawab Yonghwa.

“Tapi hyung, bisakah kau ceritakan dulu apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Wajahmu terlihat sedikit memar.” Sahut Jungshin.

“Aku… berkelahi dengan beberapa pria hidung belang untuk menolong seorang wanita… Tapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.”

“Kau benar-benar tidak ingat?” tanya Jo Kwon tidak percaya.

“Apa… itu sangat fatal?”

“Tidak, tidak fatal. Hanya saja… kau ditolong seorang wanita.”

“Wanita?”

Jo Kwon mengangguk, “Kau pingsan saat berkelahi dengan pria-pria brengsek itu, lalu tiba-tiba datang seorang gadis. Gadis itu mengusir mereka, memapahmu seorang diri dan mengantarmu pulang. Aku juga heran bagaimana mungkin seorang gadis seperti dia bisa melakukan semua itu seorang diri.”

“Gadis yang mana maksudmu?”

“Ah, sayang sekali aku tidak bisa mengenalkannya padamu. Baru saja dia pulang. Tadi dia datang kesini untuk mengambil motornya yang ditinggal sejak kemarin.”

Yonghwa terperangah, “Maksudmu… gadis berambut panjang yang mengendarai motor sport berwarna gold?”

“Ya! Ya! Itu dia! Memang agak tomboy, tapi dia sangat cantik. Dia sering datang kesini dan hampir semua pria membicarakannya. Tapi kurasa hanya pria yang tangguh saja yang akan mampu mendekatinya.”

“Jadi dia yang menolongku?” gumam Yonghwa, “Aish! Sudah kuduga pasti dia yang mengambilnya!”

“Menurutku belum tentu dia mengambilnya.” Celetuk Jungshin.

“Maksudmu?”

“Bisa saja tanpa sadar cincin itu terlepas dan tanpa sengaja gadis itu menemukannya, tapi dia tidak tahu siapa pemiliknya.” Ujar Jungshin, “Kalau boleh kutahu, siapa nama gadis itu?”

“Suzy. Namanya Bae Suzy.” Jawab Jo Kwon.

Yonghwa mengangguk-angguk, kemudian menenggak bir didalam gelasnya sampai habis dan meletakkannya kembali ke atas meja dengan sedikit kasar. Bae Suzy. Akhirnya ia bisa mendapatkan nama gadis itu.

“Bae Suzy. Tidak akan kubiarkan kau lari lagi.”

***

 

Few days later…

Tiffany’s Apartment, Gangnam-gu, Seoul

2.05 PM

-Lee Jonghyun’s POV-

Aku mematikan mesin mobilku yang telah terparkir sempurna di basement sebuah tower apartemen di kawasan Gangnam. Aku akan menjemput seseorang di apartemennya hari ini. Ya, aku ada janji dengan Tiffany Hwang, gadis yang kutemui beberapa hari yang lalu. Mungkin ini sedikit lebih cepat dari perkiraanku, karena aku tidak menyangka akan menjalin hubungan lebih jauh dengannya secepat ini. Entah apa yang ada dalam pikiranku, beberapa hari yang lalu kuberanikan diri untuk mengajaknya pergi─atau lebih tepatnya berkencan─dan tanpa kusangka ia menerima ajakanku.

Bukan tanpa alasan aku melakukan hal itu, karena setelah pertemuan pertama kami, bayangan akan sosok seorang Tiffany Hwang terus berputar dalam pikiranku dan aku tidak bisa menghentikannya.

Oke, kurasa aku sudah mulai gila sekarang.

Kuraih tasku yang ada di bangku belakang dan kukeluarkan parfum Chanel yang biasa kupakai. Ibu jariku meraih ujung botolnya dan menyemprotkannya sedikit ke bagian kiri dan kanan leherku, kemudian ke pergelangan tanganku.  Setelah dirasa cukup, kukembalikan parfum itu kedalam tasku, dan melirik ke arah kaca spion untuk sekedar melihat tatanan rambut dan pakaianku, mengeceknya apakah sudah rapi atau belum.

Aish, ini sama sekali bukan gayaku! Aku bukan tipe orang yang terlalu memperhatikan penampilan seperti ini. Tapi, entah kenapa aku merasa harus melakukannya. Bagaimanapun juga aku harus terihat sempurna dihadapan gadis itu. Semua ini gara-gara Tiffany Hwang.

Yah, harus kuakui. Dia telah mengalihkan duniaku.

Setelah selesai, aku pun turun dari mobil dan menguncinya. Kulirik jam tanganku. Saat itulah tercium aroma menyegarkan yang menguar dari pergelangan tanganku. Wangi khas parfum Chanel yang kupakai. Ah… wangi parfum ini memang enak sekali. Aku jadi ingat ketika Tiffany mengangkat kerah bajuku yang dipakainya waktu itu dan menghirup aroma harumnya. Kelakuannya itu membuatku senang setengah mati!

Saat sedang berdiri menunggu Tiffany di depan pintu apartemennya, tiba-tiba saja ponselku bergetar. Segera saja kukeluarkan alat komunikasi itu dari saku celanaku dan melihat display-nya. Telepon dari Yonghwa-hyung.

“Ne, hyung. Ada apa?” sahutku.

Apa aku bisa bertemu denganmu hari ini? Ada yang harus segera kubicarakan denganmu,” jawabnya dari seberang telepon, “Ini tentang laporan penyidikan kasus yang sedang kita tangani.

Dahiku mengernyit. Penyidikan kasus? Ah! Aku lupa kalau aku menyuruh Yonghwa hyung untuk menyerahkan laporan itu padaku hari ini.

Lee Jonghyun babo! Kenapa harinya bisa sama dengan hari kencanmu dengan Tiffany, hah?!” umpatku dalam hati.

“Ehem,” aku membersihkan tenggorokanku, “Begini saja, hyung. Kita bertemu sore ini di Itaewon, di tempat biasa. Bagaimana?” usulku.

Yonghwa hyung terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Algesseo. Tempat biasa. Itta bwa!” Ia pun lalu menutup teleponnya.

Beberapa menit kemudian, orang yang kutunggu-tunggu akhirnya keluar dari apartemennya. Kurasakan jantungku mulai berdegup kencang dan darahku berdesir cepat ketika melihat sosoknya. Rambut yang panjang kecoklatan dan bergelombang dibiarkan tergerai. Ia mengenakan mini dress berwarna biru tua yang berpadu sempurna dengan warna kulitnya.

“Kau… terlihat sangat cantik,” kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa kusadari.

“Ah… Annyeonghaseyo, Jonghyun-ssi!”. Dengan sedikit ragu ia membungkukkan badannya untuk menyapaku. Raut wajahnya terlihat sedikit terkejut.

Astaga! Kukira pujian yang tadi itu hanya ada di kepalaku saja. Ternyata…aku benar-benar mengatakannya?! Jelas saja ia jadi canggung begitu. Bagaimana tidak? Tahu-tahu ada seorang laki-laki yang berkata bahwa dirinya sangat cantik, bahkan tanpa menyapanya atau menanyakan kabarnya―atau apapun itu, basa-basi wajar yang biasa dilakukan ketika dua orang bertemu untuk pertama kalinya hari itu.

“Annyeonghaseyo, Tiffany-ssi.” Aku sedikit membungkukkan badanku. “Kau cantik sekali hari ini,” pujiku. Kuulang kata-kataku setelah aku memperbaiki urutannya. Menyapanya dulu, baru memujinya.

Ah, aku jadi bingung sendiri. Kenapa aku jadi salah tingkah begini???

“Te… terima kasih.” Ia terlihat kikuk dengan pujianku barusan. Wajah kikuknya benar-benar membuatku gemas!

“Tidak usah kaku begitu, Tiffany-ssi. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya kok.” Aku berusaha menghilangkan kecanggungan yang masih terasa di antara kami. Wajah kikuknya tadi kini telah berganti dengan sebuah senyuman manis yang menghiasi wajahnya.

“Ah, jom. Agar tidak terlalu kaku, bagaimana kalau aku memanggilmu Fany, atau setidaknya nama panggilan lain yang kau suka? Kau bisa memanggilku Jonghyun-ah… atau apa saja.” Well, kurasa nama panggilan bisa membuat kami lebih akrab.

Ia mengangguk kemudian tersenyum. “Tentu saja.”

Tanpa berlama-lama lagi, kami berjalan menuju mobil yang kuparkir di basement apartment ini. Ya, gadis yang kusukai itu berjalan di sampingku sekarang. Entah apa yang mendorongku, tahu-tahu sebelah tanganku sudah terulur ke arahnya dan menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. Kurasakan sensasi aneh mulai menjalari tubuhku. Seperti ada sengatan listrik ketika tanganku menyentuh tangannya.

Diam-diam, kupandangi wajah gadis itu dari samping, menatapnya dalam-dalam. Kuperhatikan setiap lekuk wajahnya dan merekamnya kuat-kuat dalam memoriku. Sebuah fantasi melintas di pikiranku seketika itu.

Fany-ah, akankah kau berjalan berdampingan denganku seperti ini, menuju altar?

***

 

Itaewon, Seoul

5.30 PM

-Author’s POV-

Yonghwa melangkahkan kakinya ke dalam sebuah coffee shop dimana ia akan bertemu Jaksa Lee Jonghyun untuk menyerahkan laporan penyidikan kasus pembunuhan Choi Siwon yang sedang ia tangani. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Tidak biasanya Jonghyun menunda untuk bertemu dengannya seperti tadi. Dari cara bicaranya, dia juga terdengar sedikit kikuk. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Yonghwa bisa menerka-nerka apa itu, namun ia masih belum berani berspekulasi.

Benar saja, ketika Yonghwa membuka pintu dan menyusuri pandangannya ke seluruh penjuru tempat itu, ia mendapati Jonghyun sedang bercengkrama hangat dengan seorang wanita. Persis seperti dugaannya.

Harusnya aku tahu kalau ia sedang berkencan. Kalau tidak, mana mungkin ia memintaku untuk membicarakan masalah pekerjaan di luar kantor?” batin Yonghwa. Ia menghela napas berat, sedikit menyesal karena telah setuju untuk menemui Jonghyun hari itu. “Memangnya dia tidak merasa terganggu kalau aku berada di tengah-tengah kencan mereka?

Yonghwa memperhatikan tempat yang diduduki Jonghyun dan wanita itu selama beberapa saat. Guratan bahagia terpancar dari wajahnya ketika ia melihat orang yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya sendiri itu tertawa lepas. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak melihat Jonghyun sebahagia itu.

Tiffany yang duduk menghadap pintu masuk coffee shop tersebut menyadari ada seseorang yang berdiri tidak jauh dari sana sedang memperhatikan dirinya dan Jonghyun.

“Jonghyun-ssi! Sepertinya ada yang memperhatikan kita,” bisik Tiffany. Ia mengedikkan dagunya ke arah orang tersebut.

Jeongmal? Nugu?” Jonghyun mengikuti arah pandang Tiffany. Dilihatnya Yonghwa sedang berdiri didekat pintu masuk sambil memandang ke arahnya. Ia pun tersenyum.

 “Hyung!” Jonghyun melambaikan tangannya, memberi tanda agar Yonghwa duduk di kursi yang ada di sebelah kanannya.

Yonghwa pun berjalan menghampiri Jonghyun dan menepuk pelan pundak laki-laki itu. “Ya~ Jonghyun-ah! Baru seminggu aku tidak bertemu denganmu, tidak tahunya kau sudah punya pacar sekarang. Pantas saja, kau jarang membalas pesanku,” godanya.

Jonghyun terkekeh, tanpa sadar wajahnya mulai memerah, “Aniya, hyung…”

“Jadi, sudah berapa lama kalian pacaran?” tanya Yonghwa, kali ini kepada Tiffany.

“Ya~ hyung! Kau ini tidak sopan! Aku bahkan belum memperkenalkannya padamu! Kau juga bahkan belum memperkenalkan dirimu!” protes Jonghyun sambil meninju pelan lengan Yonghwa.

“Tidak mungkin kan gadis ini tidak kenal Detektif Jung Yonghwa?” Yonghwa pun tertawa terbahak-bahak.

“Fany-ah,” kata Jonghyun pada Tiffany, “dia ini Detektif Jung Yonghwa. Aku sudah menganggapnya sebagai hyung-ku sendiri. Dan… ya… dia memang selalu narsis seperti ini,” Jonghyun memutar bola matanya.

“Annyeonghaseyo, Jung Yonghwa-ssi. Aku Tiffany Hwang.” Tiffany sedikit membungkukkan badannya, memperkenalkan dirinya pada Yonghwa.

“Aku Detektif Jung Yonghwa,” balas Yonghwa. “Kau bisa memanggilku Yonghwa.” ujarnya sambil tersenyum ramah pada gadis itu.

***

 

-Lee Jonghyun’s POV-

“Jadi, bagaimana hasil penyidikannya?” tanyaku sesaat setelah pelayan yang mengantar pesanan kami pergi.

“Aku sudah melakukan pemeriksaan berkaitan dengan KJH Enterprises. Mulanya, aku bertanya pada karyawan yang bekerja di perusahaan itu tentang nama CEO perusahaan mereka. Anehnya, tidak ada seorangpun yang tahu,” jelas Yonghwa.

“Tidak mungkin!”

“Setelah CEO mereka yang lama, Cho Kyuhyun, menghilang entah kemana, tidak ada seorang karyawan pun yang tahu siapa CEO mereka sekarang.”

Jadi, nama CEO mereka sebelumnya adalah Cho Kyuhyun? CEO yang hilang itu namanya Cho Kyuhyun?

Aku terdiam sejenak. Sedikit yang kutahu tentang Cho Kyuhyun, ia adalah CEO yang seolah lenyap ditelan bumi setelah berita pembunuhan pengusaha Choi Siwon mencuat ke permukaan. Bukan hanya wujudnya saja yang menghilang, semua data tentang dirinya; termasuk data kependudukan, data bank, data rumah sakit, semuanya hilang secara misterius dan tidak bisa dilacak. Apalagi, ia tidak punya keluarga dekat dan juga teman yang setidaknya bisa dijadikan sumber informasi kemana perginya ia sebenarnya.

“Bagaimana mungkin perusahaan itu bisa bergerak tanpa CEO?” Cerita Yonghwa hyung tadi sangat tidak masuk akal bagiku.

“Katanya, seorang tangan kanan dari Cho Kyuhyun-lah yang menggantikan pekerjaan CEO tersebut. Tapi tetap saja, ia hanya seorang tangan kanan. Bukan orang itu CEO-nya.”

“Siapa namanya? Kita gali saja informasi darinya,” usulku.

“Aku sudah melakukannya. Tapi orang itu sekarang sedang menjalani pengobatan di Boston. Kita tidak bisa melakukan pemeriksaan pada orang sakit seperti itu.”

Aku mengacak-acak rambutku karena penjelasan Yonghwa hyung yang membuatku frustasi. Kenapa ini semua tidak semudah yang kukira?

“Lalu, bagaimana dengan keadaan Choi Sooyoung sendiri? Sudah membaik?” Aku penasaran dengan perkembangan kesehatan dari saksi tunggalku dalam kasus ini.

“Aku sudah menemui dokter yang menanganinya… Dokter Kang Minhyuk.”

Aku mengangguk. “Lalu?”

“Choi Sooyoung menyebut sebuah nama… sepertinya ada sesuatu antara dirinya dan CEO yang menghilang itu.”

Aku mencerna kata-kata Yonghwa hyung selama beberapa saat. “Maksudmu, Cho Kyuhyun?”

Ia mengangguk. “Gadis itu menyebut-nyebut nama Cho Kyuhyun. Pria itu pernah memberikan nona Choi Sooyoung sebuket bunga mawar kuning.”

Dahiku mengernyit. Mawar kuning? Apa lagi ini sebenarnya?

“Jadi kesimpulannya, kita hanya bisa mengandalkan nona Choi Sooyoung dan menunggu kesembuhannya, begitu?”

Kulihat Yonghwa hyung berpikir selama beberapa detik, kemudian ia mengangguk. Tidak! Bukan  jawaban itu yang aku inginkan darinya!

Aku kembali mengacak-acak rambutku yang sekarang sudah tidak karuan, kemudian menopang dahiku di atas meja dan menghela napas berat. Jujur, kasus ini mulai membuatku sedikit jengah. Satu per satu fakta mulai muncul, namun semuanya masih menjadi misteri. Apa kita benar-benar hanya bisa mengandalkan nona Choi Sooyoung?

Ketika menoleh ke samping, kulihat Tiffany memperhatikan rambutku yang berantakan, kemudian kedua tangannya terulur merapikan rambutku dengan lembut. Seulas senyum menghiasi wajahnya ketika aku menatap matanya saat ia selesai dengan pekerjaannya tersebut. Beban di pundakku seolah hilang detik itu juga.

“Aigo~ itulah makanya aku menyesal datang kesini sekarang,” celetuk Yonghwa. Kudengar sedikit nada kesal pada suaranya.

“Hyung, wae geurae??? Tidakkah kau bahagia melihatku bahagia, hyung?” Aneh, kenapa dia harus menyesal melihatku berdua dengan Tiffany?

Sudahlah, dia pasti hanya iri,” batinku. Tiba-tiba saja Yonghwa hyung menjitak kepalaku.

“Aduh! Hyung, sakit!” ringisku.

Babo! Kau kira aku nyaman berada di tengah-tengah kencan kalian dan mengganggu dua sejoli yang sedang memadu kasih?” sindir Yonghwa hyung.

Aku memandang Tiffany yang tertunduk malu-malu. Bisa kulihat semburat merah menghiasi wajahnya, membuat wajah yang paling kusukai itu terlihat semakin cantik saja.

Kanda! Kalian berdua, nikmati saja kencan kalian. Aku tidak mau lebih lama lagi menjadi lalat disini.” Yonghwa bangkit dari kursinya kemudian menepuk pundakku dan berjalan keluar coffee shop ini.

Ah, aku jadi merasa tidak enak pada Yonghwa hyung. Tapi mau bagaimana lagi? Saat ini aku memang sedang bersama dengan Tiffany. Suasana romantis itu tidak bisa kuhilangkan begitu saja. Ah tidak, aku memang tidak mampu menyembunyikannya, apalagi menghilangkannya.

Kulambaikan tanganku pada Yonghwa hyung ketika ia sempat berbalik sebelum membuka pintu coffee shop itu. “Hyung-ah! Jalga!!!

***

 

Tiffany’s Apartment, Gangnam-gu, Seoul

8.00 PM

-Author’s POV-

“Drrrrtt…!! Drrrrttt…!!”

Begitu mendengar ponselnya berdering, Tiffany langsung berlari ke kamarnya dan meraih ponsel yang terletak di atas tempat tidurnya itu.

“Ne, Kyuhyun-ah,” sahutnya pada seorang pria di seberang telepon.

Apa yang kau dapat?” tanya pria itu.

“Sepertinya mereka menemukan jalan buntu… hanya saja…” Tiffany menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, “kurasa kau harus mengawasi Choi Sooyoung.”

Wae?!” pria itu kaget.

“Dia…menyebut namamu di depan dokternya,” jelas Tiffany.

Sooyoung bisa bicara??? Apa yang ia katakan? Apa yang kau dengar???” tanya pria itu tak sabar. Ia makin penasaran dengan apa yang dikatakan Tiffany barusan.

“Itu saja,” jawab Tiffany ketus.

Ia menutup telepon dan membanting ponselnya ke tempat tidur, kemudian menghempaskan dirinya sendiri ke tempat tidur itu dan menghela napas panjang. Ia merasa lelah. Sangat lelah.

***

 

Lee Jungshin’s Studio, Cheongdam-dong, Gangnam-gu, Seoul

07.47 PM

-Author’s POV-

“Sulli-ah…” panggil Jungshin begitu membuka pintu. Namun kata-katanya terputus begitu melihat ruangan yang dimasukinya terlihat kosong melompong. Tidak ada seorang pun disana.

Jungshin melangkah memasuki ruangan itu. Wajahnya yang terlihat sumringah berangsur-angsur berubah. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan itu, namun sosok yang dicarinya tetap tidak ada disana.

“Mencari siapa, Jungshin-ssi?” tiba-tiba terdengar suara seseorang. Jungshin menoleh ke arah pintu. Tampak Nyonya Han sudah berdiri disana. Wanita itu melipat kedua tangannya dan menyandarkan sebelah bahunya ke dinding. Dahinya mengernyit, menunggu jawaban dari laki-laki bertubuh tinggi itu.

“Ng…” Jungshin tampak ragu sesaat. Ia tidak ingin terkesan terlalu peduli dengan Sulli, padahal memang begitulah kenyataannya.

“Mana Sulli?”

“Sulli?” ulang Nyonya Han, “Dia baru saja pulang. Ada apa?”

Mendengar jawaban Nyonya Han, hati Jungshin mencelos. Pasalnya, ia ingin mengantar gadis itu pulang ke rumahnya, untuk kali kedua, sebagai usaha menambah kedekatan mereka. Setidaknya itulah yang diajarkan Yonghwa padanya beberapa hari yang lalu.

“Ah, tidak…” Jungshin mengusap tengkuk, berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya.

Laki-laki itu kembali mengarahkan pandangannya pada meja kerja Sulli, yang penuh dengan lembaran kertas dan kain. Mungkin belum sempat dirapikan, atau memang sengaja dibiarkan seperti itu. Diam-diam ia masih menyayangkan Sulli yang pulang lebih dulu sebelum ia datang, dan menyayangkan dirinya sendiri yang datang terlambat.

“Tadi pacarnya itu menjemput.” Lanjut Nyonya Han. Penjelasan yang tidak perlu sebetulnya, mengingat orang yang diberi penjelasan itu juga menyukai Sulli. Lagipula Jungshin juga sudah tahu.

Ya. Dia sudah tahu itu.

“Drrrrttt…! Drrrrtttt…!” tiba-tiba terdengar suara getaran ponsel yang cukup keras. Bukan ponsel Jungshin, maupun ponsel Nyonya Han. Mata Jungshin langsung mengarah pada meja kerja Sulli. Benar saja, gadis itu meninggalkan ponselnya disana. Dengan sigap Jungshin langsung menyambar ponsel tersebut dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu, berharap Sulli belum berjalan terlalu jauh sehingga ia bisa mengembalikannya segera.

“Ya~! Jungshin-ah! Mau kemana?” panggil Nyonya Han.

“Mau apa lagi? Tentu saja mengembalikan ponsel.” Jawab Jungshin cepat, kemudian berlalu.

Nyonya Han hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Ia memperhatikan punggung Jungshin dari kejauhan sambil tersenyum kecil. Satu hal yang ia sadari. Tampaknya, laki-laki itu sedang jatuh cinta.

***

Jungshin semakin mempercepat langkahnya keluar gedung. Sepanjang perjalanan tadi ia tidak melihat Sulli, jadi pasti gadis itu sudah berada di luar. Wajahnya tampak gelisah begitu menyadari gadis itu juga tidak ada di tempat parkir.

Jungshin menghentikan langkahnya. Ia bingung harus mencari Sulli kemana. Ia tidak tahu tempat tujuan gadis itu selanjutnya dan mobil Minho juga tidak ada. Kemungkinan besar mereka sudah pergi entah kemana.

Pandangan Jungshin lalu mengarah ke jalan, dan tanpa sengaja ia melihat seorang gadis yang sedang menyeberang. Dari pakaian, rambut, dan gayanya, pastilah gadis itu Sulli. Seulas senyum mengembang di bibirnya. Tanpa pikir panjang ia langsung menyusul gadis itu.

Ketika hendak menyeberang jalan, Jungshin melihat sebuah mobil melaju kencang ke arah Sulli, namun tampaknya gadis itu tidak menyadarinya. Segera saja ia berlari menyeberang dan menyambar bahu gadis itu.

“Awas!!!”

Jungshin mendekap Sulli dari belakang dan mendorongnya jatuh ke tepi jalan bersama dirinya, untuk menghindari tabrakan. Ia biarkan dirinya menghempas tanah terlebih dulu sehingga bisa menahan tubuh Sulli yang jatuh tengkurap di atasnya.

Jungshin masih menutup matanya dengan napas tersengal. Kedua tangannya masih mendekap erat kepala dan pinggang Sulli. Hampir saja gadis itu menjadi korban tabrakan jika ia tidak segera menolongnya tadi.

“Gwaenchanha?” Jungshin membuka mata setelah napasnya kembali teratur.

Sulli mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya tampak panik, “A…apa itu tadi?!”

“Syukurlah… Hampir saja…” Jungshin menghela napas lega begitu melihat gadis itu tidak tergores sedikit pun.

Sulli mengernyitkan dahi, “Ju…Jungshin-ssi?!” pekiknya begitu tersadar siapa orang yang ditindihnya, “Kau… yang menolongku?! Kau baik-baik saja?!”

Jungshin tersenyum sekilas, “Gwaenchanha…”

Entah kenapa, Sulli tidak juga mengubah posisinya. Ia memperhatikan setiap inci wajah Jungshin. Melihat laki-laki itu terengah seperti itu membuatnya tersadar hal berbahaya apa yang hampir menimpanya. Ia nyaris tertabrak mobil yang melaju kencang dan jika Jungshin tidak segera menolongnya, tamatlah riwayatnya.

“Ehem!” tiba-tiba terdengar suara seseorang, “Bisakah kalian menghentikannya? Ini tempat umum.”

Sulli mendongak. Dilihatnya Minho sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya dingin, seolah ada api cemburu yang bergejolak dalam hatinya.

Melihat itu, Sulli buru-buru bangun dan merapikan bajunya.

“Mi…mianhae…” ia membungkukkan badannya ke arah Jungshin setelah laki-laki itu berdiri.

Jungshin tersenyum singkat, “Dasar…” ia lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku blazernya, “Aku mau mengembalikan ini.”

Sulli mengambil ponselnya yang disodorkan Jungshin, “Ka…kau… sampai menolongku… hanya untuk mengembalikan ponsel??”

Jungshin mengedikkan bahu, “Karena ponsel itu sangat penting bagi seseorang, jadi…”

“Go…gomawo, Jungshin-ssi! Jeongmal gomawo!” Sulli membungkukkan badannya berkali-kali sebagai ucapan terima kasih.

“Ah, cheonma…”

“Sulli-ah, kita harus pergi. Ini sudah malam.” Minho memotong ucapan Jungshin sambil menarik tangan gadis itu menjauh. Sulli yang bingung hanya bisa pasrah membiarkan Minho menariknya.

“Annyeong, Jungshin-ssi!” seru Sulli sambil menoleh ke belakang. Gadis itu menyunggingkan senyum manisnya. Senyum yang sangat Jungshin sukai.

***

“O…oppa…”

Minho menoleh ke belakang. Langkahnya terhenti ketika melihat Sulli sedang menatap ke arahnya dengan cemas. Ah tidak, itu bukan rasa cemas, melainkan rasa sakit. Gadis itu sedang meringis.

Sulli menunduk, memandang ke arah tangan kirinya yang sedang digenggam Minho. Minho mengikuti arah pandang gadis itu, dan sedikit terkejut ketika menyadari pergelangan tangan Sulli tampak memerah. Rupanya ia terlalu kuat menggenggamnya sehingga berbekas.

“Mi…mianhae…” Minho mengubah genggaman tangannya pada gadis itu menjadi usapan lembut, berusaha mengurangi rasa sakitnya, “Mianhae, Sulli-ah… Aku tidak bermaksud…”

“Gwaenchanha, oppa…” Sulli tersenyum, “Aku tahu kau cemburu…”

Minho terbelalak, “A…aku? Cemburu?”

Sulli mencubit pipi Minho gemas, “Jangan mengelak, tuan Choi Minho!”

Minho terkekeh. Gadis itu masih bisa saja bercanda. Berarti ia benar-benar baik-baik saja.

Sebenarnya, Minho bermaksud mengajak gadis itu ke salah satu café yang berada di seberang studio tempat gadis itu bekerja. Ia berencana menunggu Sulli di café tersebut, namun tidak menyangka jika akan terjadi kejadian seperti tadi. Rasanya ia baru menyadari adanya kedekatan antara kekasihnya dengan Jungshin. Perbedaan jarak membuat intensitas pertemuan mereka menurun dan membuatnya kehilangan banyak hal.

Minho mendengus pelan, berusaha menekan emosinya ketika teringat ‘kejadian’ tadi. Toh kedua orang itu hanya dekat. Karena profesi. Setidaknya ia harus menyikapinya dengan dewasa.

Ketika melewati toko bunga, Minho kembali menghentikan langkahnya.

Sulli memiringkan kepalanya, mencoba menatap Minho, “Oppa, wae geurae?”

“Jamkkanman…” Minho pun melangkah memasuki toko bunga itu, dan tak lama kemudian kembali dengan sebuket bunga lily ungu.

Minho lalu menyodorkan buket bunga itu ke hadapan Sulli, “Ini. Sebagai hadiahku karena keadaan Sooyoung noona sudah mengalami kemajuan. Kau bilang dia suka bunga warna ungu kan?”

Sulli mengerjapkan matanya. Jujur, ia tidak menyangka jika Minho sangat perhatian pada eonni-nya itu. Ia memperhatikan bunga lily ungu tersebut dan Minho bergantian. Matanya berbinar-binar.

“Gomawo, jagiya…”

***

 

Few Days Later…

Tiffany’s Apartment, Gangnam-gu, Seoul

7.15 PM

-Author’s POV-

Minho memencet bel apartemen Tiffany berkali-kali, dengan harapan si tuan rumah segera membukakan pintu untuknya. Tetapi pintu apartemen itu tak kunjung terbuka. Diambilnya ponsel dari saku celananya kemudian menghubungi gadis itu.

“Sial! Ponselnya tidak aktif!”

Minho mondar-mandir di depan pintu itu sambil menunggu Tiffany. Saat ia membalikkan badan, tampaklah seorang gadis berkemeja warna pastel dengan stelan rok dan blazer coklat muda serta pumps berwarna senada sedang berjalan menuju apartemennya.

Ia berjalan tak acuh menuju pintu apartemennya kemudian menekan beberapa digit password untuk membukanya, tanpa menghiraukan Minho yang sedari tadi mengomel karena terlalu lama menunggu gadis itu.

“Ya! Tiffany Hwang! Kau mendengarku, tidak?!” Minho mengeraskan suaranya, mencari perhatian Tiffany. Laki-laki itu mengikuti langkah Tiffany yang langsung masuk ke dalam apartemennya tanpa bicara sepatah kata pun.

BRAK!!! Gadis itu membanting pintu rumahnya. Minho langsung terdiam melihat tingkah laku Tiffany.

“Kau sudah selesai dengan ocehanmu?” tanya Tiffany dengan nada sarkastik. Ia meletakkan tas tangannya di atas meja yang ada di hadapannya, kemudian duduk di hadapan Minho yang tanpa permisi sudah duduk di ruang tamunya.

“Ceritakan semuanya padaku!” perintah Minho pada gadis itu.

“Aku sudah menceritakan semuanya padamu. Apa lagi yang kau inginkan?” balasnya ketus.

“Ani. Maksudku, untuk apa ia menyuruh orang untuk menyelidiki perusahaan kita?” tanyanya.

Tiffany menggeleng. “Molla.”

“Kenapa tidak kau tanyakan saja pada jaksa….siapa namanya? Aku lupa,” kata Minho lagi.

Kepalan tangan Tiffany melayang dan dengan ringannya mendarat di kepala Minho. Ia meringis kesakitan.

Babo! Kau pikir dia tidak akan curiga kalau ada orang asing yang tiba-tiba menanyakan hal itu padanya?”

“Hah! Kau benar juga.” Minho masih mengusap-usap kepalanya yang sakit. “Geureomyeon…” ia berpikir sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, “seperti apa dia?”

Tiffany menghela napasnya sebelum ia menjawab. “Muda. Baik. Tampan. Sepertinya ia juga seorang jaksa yang handal.”

“Apa kau menyukainya?”

Tiffany terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya itu barusan. “Kenapa kau menanyakan hal itu?”

“Ya~ bukankah beberapa hari yang lalu kau pergi kencan dengannya? Lalu apa artinya itu? Apa kau, seorang Tiffany Hwang, menyukai Jaksa Lee Jonghyun?” Minho memicingkan kedua matanya ke arah Tiffany.

Tatapan aneh Minho sukses membuat Tiffany salah tingkah. Ia balas  menatap Minho yang sedang menunggu jawaban darinya.

“Kau bercanda, hah? Aku kan baru mengenalnya selama beberapa hari.” Tiffany memalingkan wajahnya.

But you did. Going on a date. With him.” Minho memberi penekanan pada setiap frase yang diucapkannya.

“Itu karena aku merasa tidak enak padanya. Ia sudah baik sekali padaku waktu itu, jadi kencan itu hanyalah semacam ucapan terima kasihku padanya.”

Kali ini Tiffany memalingkan wajahnya. Jujur, ada sedikit ketertarikan dalam dirinya terhadap Jaksa Lee Jonghyun. Tapi itu adalah hal yang sangat wajar, mengingat ketampanan dan kepribadian Jaksa Lee memang bisa membuat wanita manapun terpikat padanya.

Tawa Minho pecah mendengar alasan gadis itu yang menurutnya sangat mengada-ada.

Minho menjentikkan jarinya. “Aku ada ide! Dan aku butuh bantuanmu.”

Ne?! “ gadis itu terkejut.

“Fany-ah! Aku mau kau berpacaran dengan jaksa itu!” perintahnya.

Mworago?! Michigesseo?!” pekik Tiffany. Matanya terbelalak saking kagetnya.

“Demi perusahaan kita. Aku mau kau jadi pacarnya…” Minho menghela napas, “dan jadi mata-mataku.”

Tiffany terdiam. Mana mungkin ia begitu saja menjadi pacar orang yang baru dikenalnya?

“Oh c’mon Tiff, ini demi perusahaan,” pinta lelaki itu.

“Aku baru mengenalnya, Choi-Min-Ho,” Tiffany mengeja nama sahabat yang sedang duduk di hadapannya itu saking geramnya. “Kau menyuruhku menjadi pacar Jaksa Lee? Shireo! Aku tidak mau!”

“Kau berani melawan atasanmu?!” bentaknya. Suasana kini menegang di antara mereka berdua.

“Aku tidak mencintainya! Tidakkah kau mengerti?!” Tiffany balas membentaknya.

“Cinta katamu?!” Minho tertawa getir. “Aku sudah lupa apa itu cinta… setelah seseorang dengan seenaknya merebut orang yang sangat kucintai.” katanya lirih.

Tiffany terdiam sejenak, memikirkan perintah yang baru saja diberikan Minho padanya. Ia pun kemudian angkat suara.

“Bahkan kalaupun aku mau menjadi pacarnya, kau pikir ia mau menjadi pacarku?”

“Tentu saja! Bukannya dia yang mengajakmu kencan waktu itu? Ayolah Tiffany-ah…” Wajah Minho sekarang memelas. Tiffany menggeleng lemah.

“Begini saja,” Minho bangkit dari tempat duduknya. “Kuberi kau waktu satu minggu untuk mendekatinya. Kalau ternyata ia tidak menyukaimu―dan aku yakin itu tidak mungkin, aku tidak akan memaksamu untuk menjadi pacarnya.” Tiffany tersentak dengan perkataan Minho.

Hajiman… kalau ia ternyata mau jadi pacarmu, maka kau harus menuruti kata-kataku untuk menjadi mata-mata.” Pria itu kemudian berlalu ke pintu dan pergi meninggalkan tempat itu.

“Minho-ya!!! YA!!! Choi Minho!!!”

(to be continued)

____________________________________

Annyeonghaseyo readers!! Gimana ceritanya? I hope you guys enjoy the story 🙂 anyway, makasih banget buat yang udah comment di part-part sebelumnya. Itu jadi motivasi author buat ngelanjutin cerita ini. Oh iya, berhubung semua part dan semua pairing itu ceritanya berkaitan, jadi bacanya jangan ada yang di-skip ya. Oke? *authorbanyakmaunya*

So, jangan langsung di-close dulu ya tab nya. Let us know what you think, fill the comment field below 😉

See you on the next chapter! 😀

53 thoughts on “Black Flower [Chapter 3]

  1. first?
    Ya Tuhan, beneran si Choi Min Ho sekongkol sama Tiffany dan Cho Kyuhyun? -_-* tidak sangka akan serumit ini tapi nice kok. ini keren banget dan membuatku semakin gak sabar untuk baca part selanjutnya. tapi, Jonghyunkuuuuuuuuuuu tolong jangan sakiti dia ya T^T *ditabok author karena banyak maunya*
    nice FF, ditunggu sekali next chap, kuharap postnya gak lama ya 😀

  2. Chingo…. kenapa cuma minhyuk doang nih yg ga lengket ma yonghwa ‘n manggilnya hyung seperti jonghyun ma jungshin, apa krn kamu buatnya dia sahabat karib dr kecil ma kristal?

    Yey….. JongFany aq suka bgt klo jonghyun di pairing ma tiffany walaupun aq jg ga keberatan klo jonghyun jg di pasangin ma yoona, ga tau kenapa aq lbh suka/bayangin yoona ma lee min ho.

    sepertinya efek gegara iklan mereka b2, okeh deh…. lanjut….. baca maksudnya ^_^

  3. Eh? Minho atasannya fany eonni? Itu artinya dia sekongkol donk ama kyupa?
    Aakkhh, makin rumit smuanya..
    Cish, ternyata minpa tu nappeun..
    Btw, minpa blg yeoja yg d cintainya d rebut org lain, berarti bukan sulli dong?

  4. Moya?! Minho atasan tiffany?? dari KJH entrprise?? lalu kenapa minho memberikan sebuket lily ungu untuk sooyoung. aku pikir beli buat sulli. lalu orang yang sangat dicintai minho dan direbut orang itu siapa? apa jangan2 itu sooyoung. tapi kenapa nama kyu yang… aissh malah jadi ikut pusing haha.. aku salut padamu authornim. lanjut..

Leave a reply to EmaAlkaff Cancel reply