Lost Star (Part 1)

Lost Star

Sequel of Star I Used to Know

Minhyuk/Soojung;Angst, Romance;Chaptered

large

Semoga perjalananmu menyenangkan. Sampaikan salamku untuk keluargamu.

Akan sangat merindukanmu di sini.

—Ron

Gawat! Tidak bisa menjemput kau di bandara. Kukirim seseorang untuk menggantikan aku. Sampai jumpa di rumah!

—Kakakmu

Aku memasukkan ponsel ke saku mantel dan menarik koper perlahan menyusuri bandara. Kepalaku pusing karena perubahan cuaca mendadak seperti ini. Pakaianku tidak begitu tebal meski ibu dan Sooyeon sudah memperingatkan aku akan itu di telepon kemarin, sebelum aku berangkat. Tapi aku lupa sedingin apa salju, dikarenakan aku jarang sekali meninggalkan California yang tidak pernah turun salju sama sekali di sepanjang musim dingin.

Kugosok-gosok telapak tanganku agar menghangat dan mataku mencoba menyisir bandara. Barangkali menemukan wajah keluargaku, meski Sooyeon sudah mengirim pesan bahwa dia tidak akan datang untuk menjemputku. Mungkin suaminya yang akan datang, atau ibuku, meski itu mustahil sebab Ibu tidak bisa menyetir. Seumur hidupnya Ibu selalu diantar ayah ke mana-mana, tapi ayah sudah lama sekali meninggalkannya—meninggalkan kami semua­— jadi tidak ada yang akan menyetir untuknya lagi selain Sooyeon atau menantu lelakinya.

“Soojung! Kim Soojung!”

Mataku perih sekali karena udara dingin ini, hingga penglihatanku tidak begitu jelas. Begitu juga dengan telingaku yang rasanya berdenging, tapi jika tidak salah aku melihat seseorang melambai ke arahku dan baru beberapa detik lalu dia menyerukan namaku. Suaranya agar teredam.

Seorang pria, tinggi. Mengenakan pakaian super tebal dan masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. Tapi jika aku tidak gila atau mengalami halusinasi, rasanya aku mengenal pria yang kini sedang mendekat ke arahku.

“Ya?” aku mengernyitkan dahi memandangnya.

“Aduh aku begitu kedinginan. Ayo cepat ke mobil.” Dia berkata santai, aku memperhatikan matanya yang menyerupai bulan separuh. Jantungku berdebar kencang.

“Kau…”

Dia menarik maskernya turun melewati mulut dan tersenyum, “Aku Minhyuk.” Sebuah sentakan keras menghantam jantungku dan kepalaku berputar-putar ketika menonton punggungnya menjauh. Dia menyeret koperku. Setengah tidak percaya, setengah gila aku mengikutinya ke parkiran menuju mobilnya.

Ron duduk di lantai kamarku, melipat pakaianku dan menyusunnya rapi-rapi sekali ke dalam koper. Aku duduk di atas dipanku, menontonnya mengurus barang-barang keperluanku. Musim dingin tiba tapi California baik-baik saja, truk pengeruk salju menganggur seperti tahun-tahun biasanya.

“Sudah Ron, jangan begitu repot.” Aku mengingatkan untuk yang kesekian kalinya, tidak ada satu pun di antara kami yang menyukai keharusanku berkunjung ke Korea bulan ini. Ron tidak menyatakan keberatannya tapi aku tahu dia tidak begitu menerima ini.

“Oke.” Ron menarik resleting koper dan menepuk-nepuk koperku pelan. “Sudah selesai.” Dan dia ikut naik ke atas dipan, duduk berhadapan denganku.

Kami tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya berpandangan. Kemudian dia meraih tanganku dan mengecupnya, “Aku akan merindukan tangan ini.” Aku tertawa.

“Oh jangan berlebihan, aku hanya pergi dua bulan, bukan selamanya. Lagi pula kau masih tetap bisa menghubungi aku.”

“Yahh… benar, tapi rasanya kan tidak sama.” Dia mengaitkan jemari kami dan kami kembali membisu. Dan tiba-tiba Ron bertanya dengan pelan, “Apa yang kau takutkan?” sudah jelas maksudnya adalah aku takut pergi ke tanah air orangtuaku. Ron tahu itu dan akan selalu tahu. Ron tahu segala sesuatu tentangku, luar dan dalam. Dan aku tidak pernah menyembunyikan apa pun darinya.

“Kau tahu itu.” Aku menjawab, sebab Ron juga tahu bahwa dulu sekali hatiku pernah patah dan sangat parah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya.

“Kemarilah,” dia menarikku ke pelukannya, aku seperti anak kucing yang kedinginan di dalam dekapannya. “Semua akan baik-baik saja, percayalah.” Aku ingin percaya, walau aku tidak percaya sama sekali.

“Jadi kau yang dimaksud kakakku.” Aku membuka mulutku yang hampir beku karena udara dingin, karena mengalami syok juga beberapa saat yang lalu. Mobil meluncur pelan, meninggalkan bandara di belakang.

“Ya. Dia menelepon aku pagi tadi, katanya ada yang harus dia lakukan bersama suami dan anaknya. Ngomong-ngomong keponakanmu lucu ya, dia pintar sekali untuk anak seumurannya.”

“Eh-hm.” Aku menganggukkan kepala.

“Bagaimana rasanya tiba di Korea?”

“Waw… aku hampir terkena serangan jantung disertai stroke.” Jawabku tanpa menjelaskan bahwa penyebabnya adalah dia.

Minhyuk menoleh sekilas, “Kenapa begitu?”

“Udaranya gila sekali!” jawabku setengah berbohong.

“Berapa lama kau akan tinggal di sini?”

“Hanya sampai perayaan tahun baru berakhir. Ibuku cerewet sekali terus menerus menelepon agar aku datang hanya untuk merayakan tahun baru bersama dan memaksa agar aku datang dua bulan lebih awal pula.” Aku mengingat hari-hari sebelum aku berangkat, Ibu mengomel berkata bahwa aku mulai berubah. Aku tidak peduli lagi dengan keluarga ketika Sooyeon dan keluarga kecilnya mengunjungi ibu dan aku tidak ikut. Mereka hanya tidak mengerti mengapa aku begitu.

“Aneh ya. Seingatku waktu dulu kau sangat terobsesi ingin tinggal di Korea. Tapi kini malah kebalikannya,” Minhyuk tersenyum, terasa tulus di mataku. Dan aku agak merasakan kejutan listrik di jantungku ketika dia mengungkit-ungkit masa lalu. Maksudku, itu kan sudah lama sekali.

“Yahhh…. aku kan punya pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Kecuali aku ini bosnya.” Jawabku sambil mengedikkan bahu dan Minhyuk tergelak.

Sisa perjalanan itu kami isi dengan obrolan santai, seperti cuaca, tingkah lucu anak Sooyeon dan makanan Barat dan Korea. Aku agak terkejut aku bisa bicara sesantai ini dengannya, seolah-olah itu sudah biasa kami lakukan. Aku mengabaikan jantungku yang hampir jungkir balik, aku mengabaikan imajinasiku yang menerka-nerka bagaimana reaksi Ron jika dia tahu aku sedang satu mobil dengan siapa.

Aku sedang bermobil menuju rumah bersama seorang selebriti!

Tubuhku lelah sekali sesampainya di rumah. Minhyuk membawa koperku ke lantai atas, tempat aku tidur selama dua bulan kedepan. Ibu menyambut dengan senyum menawannya, anak Sooyeon berlari memelukku.

“Terima kasih ya sudah mau menjemput adikku tersayang!” Sooyeon berseru pada Minhyuk.

“Tidak masalah, Nuna. Aku harus pergi sekarang. Tidak bisa berlama-lama.”

“Wah kau sibuk ya?” Ibuku bertanya.

“Yah begitu lah.” Minhyuk mengedikkan bahu, lalu berkata ke arahku sambil mengusapkan tangannya ke lenganku, “Sampai jumpa lagi.”

Ketika Minhyuk pergi dan Ibu menuju dapur untuk menyeduh teh, Sooyeon berkata dengan dramatis, “Wowww…. apa yang kulihat tadi barusan?” mulutnya sengaja dia buka lebar-lebar dan aku menguap.

“Sinting, aku lelah. Saatnya tidur panjang, dan tolong jangan ganggu aku.” Aku melewatinya begitu saja, mengecup pipi anaknya dan menuju kamarku di lantai atas.

Aku menulis surel untuk Ron, mengatakan bahwa aku sudah di rumah dan udara di sini begitu dingin. Pintu kamarku terbuka ketika aku menekan tombol kirim. Sooyeon duduk di kursi belajar di pojok ruangan.

“Ibu bilang dia sering mampir ke sini. Kadang mereka makan malam berdua, atau kadang-kadang orangtuanya juga ikut. Seringkali dia menyetir untuk mengantar Ibu pergi ke mana-mana. Dan dia juga sering menginap di rumah ini.” Sooyeon bicara di pojok ruangan dengan suara pelan tapi aku mampu mendengar dengan jelas. Aku berbaring membelakanginya hingga dia tidak akan dapat melihat ekspresi kosong di wajahku.

“Ibu juga bilang dia biasa duduk di dapur, memandang ke arah bunga-bunga yang Ibu tanam, berusaha untuk menulis lagu-lagunya. Kau sudah dengar lagunya, Soojung? Tidak semua lagu di album mereka ditulis olehnya, tapi lagu Minhyuk keren juga. Tidak disangka-sangka ya anak kecil pemalu yang dulu tinggal di samping rumah kita sekarang menjelma jadi selebriti paling negtop di sini.” Sooyeon mencoba tertawa meski terdengar aneh. Aku tetap diam, tidak menggerakkan satu jari pun. Mungkin dengan begini kakakku akan berpikir aku tidur dan meninggalkanku sendirian.

Untuk jeda panjang yang terasa begitu lama, akhirnya Sooyeon mendekat dan aku memejamkan mataku. “Selamat tidur,” Bisiknya lembut di telingaku, menarik selimutku lebih tinggi hingga menutupi telinga lalu dia menutup pintu dan aku sendirian, dengan banyak pikiran yang menyerang otakku.

Hari-hari berlalu begitu saja. Aku menghabiskannya untuk bermain dengan Sohee—anak perempuan Sooyeon. Menemani Sooyeon belanja, menonton saluran olahraga bersama suami Sooyeon. Memanggang kue bersama ibu di dapur dan mengirim surel untuk Ron di California sana.

Minhyuk tidak muncul bahkan setelah hampir seminggu kedatanganku. Membuatku berpikir bahwa mungkin saja bukan dia yang menjemputku di bandara, bahwa ada Minhyuk lain yang Sooyeon bicarakan saat dia datang ke kamarku.

Tapi suatu sore saat mengamati adonan mengembang dari balik oven, ibuku mengatakan persis seperti yang Sooyeon katakan padaku seminggu yang lalu. Minhyuk sering mengunjungi Ibu, Minhyuk menyetir untuk Ibu, Minhyuk menggunakan dapur dan bunga-bunga Ibu untuk inspirasi lagunya.

“Dia tidak begitu sering pulang ke rumahnya,” Ibu memberitahu lagi, aku masih bergeming dan pura-pura begitu tertarik dengan adonan yang baru dimasukkan ke dalam oven.

“Oh ya?” akhirnya aku menyahut.

“Dia tidak begitu akur dengan ayahnya. Dan ibunya agak tidak begitu sehat akhir-akhir ini. Aku menyuruhnya untuk pulang meski hanya sekali dua kali, setidaknya untuk mengecek keadaan ibunya.”

“Oh.” Aku agak terkejut dengan fakta baru itu. Aku tidak begitu tahu hubungan Minhyuk dengan orangtuanya. Dan fakta bahwa ibunya kurang sehat membuatku bergidik ngeri, membuatku mengingat Ayah. Dulu saat pertama kali jatuh sakit, aku membuatkan Ayah teh dan bertanya apa yang salah, dan Ayah menjawab bahwa dia agak kurang sehat belakangan itu. Tapi satu setengah bulan setelah itu Ayah dilarikan ke rumah sakit dan lima jam berikutnya Dokter berkata bahwa Ayah tidak mampu bertahan.

“Soojung?”

“Ya, Bu?”

“Berhentilah menatap ke dalam oven. Perlu setengah jam agar adonannya mengembang.”

“Oke.” Aku berhenti mengingat Ayah.

Entah pukul berapa ketika aku terbangun. Matahari tidak tampak, tapi aku tahu setidaknya malam sudah berlalu. Aku mendengar suara ribut di lantai bawah, jadi dengan agak terhuyung aku menuruni tangga. Rumah terlihat begitu sepi, tapi dipenuhi suara tawa orang-orang yang kukenal. Aku menyeret kaki ke dapur dan di sanalah seluruh keluargaku. Di luar dapur, di taman yang mungkin akan dipenuhi bunga-bunga indah jika saja ini adalah musim semi atau musim panas.

“Putri tidur akhirnya terbangun!” Sooyeon dengan mantelnya yang sangat tebal melambaikan tangannya kepadaku. “Kemarilah. Ayo bergabung!” dia berteriak, aku memeluk tubuhku di ambang pintu dapur dan menggeleng. Udara begitu dingin dan aku tidak yakin bermain di luar adalah ide yang bagus.

“Cerewet!” Sooyeon melempar gumpalan salju tepat ke arah wajahku. Rasanya pedas dan entah apa lagi.

“Sialan kau Sooyeon!” tanpa pikir panjang aku melompat ke luar dan meraup salju dan melemparkannya ke wajah Sooyeon. Dia membalas tindakanku, aku kembali meraup salju dan membentuknya menjadi gumpalan dan kembali melempar ke arahnya dan suaminya yang kini menjadi anggota tim Sooyeon.

“Perlu bantuan?” Minhyuk mendadak muncul di sampingku, dengan Sohee yang menggantung di punggungnya. Mungkin dia sudah lama berada di sini, dan aku tidak menyadarinya. Bibirnya sudah begitu pucat.

“Oh tentu saja. Mari kita habisi bandit-bandit ini!” Maka aku, Minhyuk dan Sohee menjadi sebuah tim. Kami membangun benteng dan membuat banyak bola salju, menyerang lawan secepat mungkin dan sebisanya menghindari serangan balasan. Keadaan taman Ibu begitu riuh, penuh dengan tawa dan umpatan-umpatan tidak menyenangkan dari pihak yang mendapat serangan.

Ketika sudah merasa begitu lelah, kami semua berhenti. Tiba-tiba Minhyuk berseru, “Ayo berdansa.” Dia berlari masuk ke dalam dapur dan beberapa menit setelahnya terdengar musik yang nyaring.

“Yuhuuu!!” Suami Sooyeon menarik tangan kakakku, dan mereka berdua berdansa di tengah-tengah salju. “Ayo sayang!” katanya pada Sohee yang dengan sangat senang menyambut ajakan itu.

Untuk beberapa saat aku dan Minhyuk hanya menjadi penonton bagi keluarga kecil yang bahagia ini. Minhyuk berdiri di depanku, sedikit membungkukkan tubuhnya, dia berkata, “Mau berdansa denganku?”

Aku mengedikkan bahu malas-malasan, tapi akhirnya menyambut uluran tangan itu. Ada sensasi aneh yang mejalari tubuhku saat tangan kami saling terperangkap dan tangannya yang lain memeluk pinggangku. Aku berusaha mengabaikannya.

Kami berdansa dengan gerakan cepat. Aku tidak bisa berdansa sebenarnya, hanya pernah melihat Audrey Hepburn atau Marilyn Monroe melakukannya di televisi. Aku bergerak tanpa henti, berputar-putar bersama Minhyuk, sekilas melihat keluarga kakakku yang juga melakukan hal yang sama.

“Kami akan masuk. Tapi kalian tidak harus berhenti, bersenang-senanglah!” Sooyeon dan keluarganya masuk ke dalam. Meninggalkan aku dan Minhyuk yang terengah-engah dan aku bisa melihat sisa-sisa tawa di wajah Minhyuk.

Lagu berganti menjadi sesuatu yang begitu sendu. Minhyuk menarik tubuhku lebih dekat, tangannya merangkul pinggangku erat. “Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini.” Dia berbisik ke telingaku. Aku bertanya-tanya tentang gadis yang dulunya dia ajak berdansa. Bagaimana rupanya, bagaimana senyumnya ketika mereka saling berdekatan. Ada secuil rasa pedih di hatiku, aku menggelengkan kepala. Minhyuk bertanya mengapa dan aku tersenyum.

“Aku bahkan tidak pernah melakukan ini sama sekali sebelumnya.” Aku memberitahu Ron bahwa aku tidak bisa berdansa dan dia tidak memaksa. Kami hanya duduk berdampingan di dalam ruangan, menonton teman-teman satu kantor sedang berdansa. Dengan gelas minuman di tangannya, Ron akan mengajakku berbincang-bincang, membuat aku merasa tidak terasingkan.

“Bagaimana dengan pesta prom?”

“Aku tidak datang,” aku tertawa. Mengingat masa remajaku rasanya agak memalukan dan tentu saja menyakitkan. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk menyendiri, tidak punya teman sama sekali. Semua karena pria yang sedang memelukku sekarang ini. “Kau kan tahu, aku tidak suka keramaian.”

“Ya, tentu saja sulit mengubah sifatmu yang satu itu.” Minhyuk tertawa pelan.

Minhyuk mungkin tidak tahu apa-apa tentangku. Karena sejauh yang kuingat aku jarang sekali memberitahunya mengenai diriku. Sebab kala itu aku sudah berjanji akan menjadi temannya, termasuk menjadi pendengar baik baginya.

Minhyuk bukanlah Ron, aku memberitahu pria itu semua tentangku, dia akan meremas tanganku dan mengecupi kepalaku. Aku memberitahunya apa yang kutakutkan, apa yang kusenangi, apa yang kusesali dalam hidupku, dan tentu saja aku memberitahunya tentang cinta pertamaku.

Ron membantuku melewati saat-saat tersulit itu. Memberikan pelukan hangatnya dan bisikan-bisikan yang menenangkan. Ron menjadi sahabat, kekasih dan sekaligus keluargaku. Aku ragu dapat menemukan seseorang seperti dia di belahan dunia lain.

“Kau tidak bisa mengubah sifat aslimu, yang bisa kau lakukan hanyalah menemukan orang-orang yang mampu menerimanya.”

“Tapi aku oke-oke saja dengan sifatmu itu. Aku terbiasa sejak kita kecil dulu.” Minhyuk bergerak lambat, aku menggigil. Baju tidur tipisku bukanlah sesuatu yang cocok untuk keadaan seperti ini.

“Minhyuk, boleh aku bertanya?”

“Ya?”

“Bagaimana keadaanmu setelah meninggalkan California?” ada sesuatu yang mendesak dari dalam diriku. Ada pertanyaan yang selama bertahun-tahun tersimpan rapi di kepalaku. Ini adalah kesempatan untuk mendapatkan jawaban.

“Aku harus kembali membiasakan diri di lingkungan baru, meski sebenarnya aku sudah bertahun-tahun sebelumnya tinggal di sini. Banyak hal berubah setelah kepergianku.”

“Pernahkah kau kesepian?” Aku ingin dia mengerti bahwa pertanyaanku adalah “penahkah kau merindukan aku?”

“Sering sekali.”

“Masihkah kau naik ke atas atap dan menonton bintang-bintang itu?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena seperti katamu, kita harus menemukan orang-orang yang mau menerima kita. Tidak ada satu orangpun yang mau menerima ide gila seperti berbaring tengah malam di atap rumah.” Aku melihat cahaya kecil di dalam matanya, cahaya itu menunjukkan kesedihan yang terpendam. Mungkin, dia sama kesepiannya seerti aku.

“Seseorang seperti aku?” tanyaku hati-hati.

“Ya… aku tidak menemukan seseorang sepertimu setelah kembali ke sini.” Aku bisa mengecap kejujuran di dalam suaranya. Jantungku berdebar kencang, ada getaran tak tertahankan di sana, dan aku tidak mampu menahannya. Jadi aku mendongak dan menatap matanya dalam-dalam, “Aku merindukanmu,” kataku.

Terjadi keheningan panjang setelah kata-kata itu keluar, dan detik berikutnya terjadi dengan sangat cepat, Minhyuk menarik wajahku mendekat, hingga aku merasakan napasnya yang hampir beku. “Aku juga. Aku juga.” Dia memejamkan matanya, aku memejamkan mataku dan kami hampir bisa merasakan rasa bibir satu sama lain, kemudian dari arah dapur aku mendengar suaraku diteriakkan keras-keras.

“Soojung!!!”

Dengan canggung aku menjauhkan diri dari Minhyuk, dan cepat-cepat menoleh ke sumber suara. Sohee berdiri di ambang pintu. “Apa?” aku bertanya jengkel, dapat kudengar Minhyuk tertawa kecil. Tangannya meraih tanganku, meremasnya lembut dan membuat jantungku hangat.

“Ron menelepon. Pacarmu menelepon.”

Aku berpaling cepat ke arah Minhyuk. Senyum itu hilang. Seolah dia tidak pernah melakukannya selama ini, tangannya menggantung kaku di sisi tubuhnya, melepaskan tanganku dalam kebekuan. Aku bisa merasakan cuka disiram ke jantungku.

“Keponakanmu bilang pacarmu menelepon. Pergilah.”

Jadi aku meninggalkannya.

Tahun pertama di lingkungan kerja, keadaan begitu suram. Persis seperti dugaanku sebelumnya. Di antara begitu banyak karyawan aku tidak termasuk dalam kelompok pertemanan mana pun. Sendirian, terabaikan. Tapi berhubung itu bukanlah kali pertama aku terasingkan, jadi semua tidak terlalu buruk bagiku.

Tapi Ron masuk ke hidupku secara perlahan. Senyuman di lift, ucapan selamat pagi, hingga bergabungnya dia ke meja makan siangku. Lama kelamaan, semua menjadi rutinitas.

Bukan kebiasaanku untuk berkeluh kesah kepada orang lain, menyampaikan kesedihan dan kebahagiaanku pada orang lain. Tapi kepada Ron, semua terasa begitu tepat. Entah mengapa, aku merasa Ron begitu pantas untuk tahu seluruh hidupku.

Di pesta-pesta yang diadakan pihak kantor, aku menghindar dari keramaian dan Ron akan dengan mudah tahu ke mana aku pergi. Kami bicara hanya berdua, tentang buku atau cuaca atau binatang peliharaan. Aku tidak merasa asing bicara dengannya, seolah kami sudah kenal begitu lama. Rasanya persis seperti aku dan Sooyeon di rumah.

Dia memberiku buku untuk dibaca, film untuk ditonton saat jam kosong, musik untuk didengarkan saat berada di dalam taksi menuju rumah. Dia mengajak aku menonton langit; awan dan matahari menari, bintang dan bulan menyombongkan sinar mereka masing-masing. Dan aku ingat ketika dengan tergesa-gesa aku memutuskan bahwa aku harus memberitahunya bahwa hatiku pernah terluka oleh seseorang, saat aku remaja. Dia memelukku, tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu dia sangat ingin menjadi obat bagi luka itu.

Pada tahun-tahun berikutnya kami tidak terpisahkan, Ron mulai datang ke rumah dan menghabiskan waktu bersama keluargaku. Semua orang menyukainya dan aku begitu bangga padanya. Ada saat-saat di mana aku yakin bahwa aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamanya. Namun ada saatnya di mana aku berpikir bahwa aku tidak begitu yakin dengan perasaanku.

Di hari hujan di musim semi dia menemukan aku bersembunyi di taman tak jauh dari kantor. Kukatakan padanya bahwa aku jenuh dengan kesibukan di sana. Dia melepas jasnya dan menyampirkannya pada bahuku.

“Kau bisa saja sakit,” dia meremas bahuku.

“Mungkin aku sudah sakit.” Jawabku ketika merasa gatal di hidung.

Dia menjawab, “Kalau begitu aku akan menemanimu sakit juga,” lalu menciumku. Rasanya segar seperti rumput musim semi, air hujan masuk ke sela bibir kami. Aku tidak keberatan menyerahkan ciuman pertamaku kepadanya. Dan mungkin aku juga ikut menyerahkan hatiku.

“Ron?”

“Soojung! Astaga, kukira kau menghilang ke mana. Sudah berhari-hari kau tidak memberi kabar.”

“Maafkan aku,” aku menggigit bibir. Merasa bersalah karena tidak mengabarinya akhir-akhir ini, dan merasa bersalah karena aku hampir berciuman dengan pria lain hari ini.

“Bagaimana kabarmu? Suaramu terdengar lesu.”

“Baik. Aku baik-baik saja, ini hanya pengaruh cuaca.”

“Oh syukurlah. Pekerjaan sangat membosankan, kuharap aku bisa ikut berlibur denganmu.”

“Aku juga berharap kau di sini.” Karena mungkin keadaan akan berbeda jika dia ada di sini.

“Aku merindukanmu.”

“Aku juga.”

“Aku tahu ini egois, ini adalah waktumu bersama keluargamu. Tapi aku benar-benar berharap kau cepat kembali. Aku benar-benar merindukanmu,” aku bisa mengecap keputus-asaan di dalam suaranya. Aku tahu Ron bukan tipe manusia yang suka membual.

“Tidak, jangan merasa bersalah. Aku juga merindukanmu dan berharap kau ada di sini. Aku akan pulang secepatnya.”

“Kabari aku lagi keadaanmu di sana, oke?”

“Oke. Dah!”

“Dah!”

Minhyuk tidak pernah muncul lagi sejak hari itu. Aku juga mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang dikirim Ron melalui e-mail. Tidak ada satu anggota keluargaku pun yang tahu apa yang sudah terjadi antara aku dan Minhyuk. Tapi kadang-kadang aku penasaran dengan kabar Minhyuk. Dia sedang di mana, bersama siapa, sudah makan atau belum dan apakah dia akan mengunjungi kami. Ibu maupun Sooyeon tidak pernah menyinggung Minhyuk selama beberapa hari ini.

Aku sering menelepon Ron dan menghabiskan berjam-jam untuk mengobrol dengannya. Dulu mengobrol dengannya terasa begitu santai dan menenangkan, tapi sekarang aku sering merasa gelisah. Dia tidak tahu aku bertemu Minhyuk. Dan aku merasa begitu bersalah sebab menyembunyikan fakta itu darinya.

Tahun baru akan segera tiba dan aku membeli hadiah untuk Ron, berupa alat tulis. Dia senang sekali menulis di jam-jam kosong yang dia miliki. Aku mengisi seluruh kepalaku dengan Ron, tapi Minhyuk memaksa masuk ke sana. Aku hampir gila dan keluargaku juga menyadarinya.

“Sedang datang bulan,” aku memberitahu ibu dan kakakku ketika mereka bertanya.

Beberapa hari sebelum tahun baru tiba, aku mendapati rumah begitu senyap di suatu pagi. Ibu tidak ada di rumah, begitu juga Sooyeon. Jadi aku menunggu di dapur sambil menghabiskan sarapan yang sudah Ibu sediakan, mungkin mereka hanya pergi berburu hadiah, sebab beberapa hari ini Ibu jadi gila belanja karena terinfeksi anak perempuannya.

“Soojung?” suami Sooyeon masuk ke dapur, agak terkejut melihat keberadaanku. Aku menengok ke arah rumah, hanya dia seorang di sini.

“Mana yang lain?”

“Kau tidak tahu ya?” tanyanya dengan wajah keheranan.

“Apa?”

“Ibu dan Sooyeon pergi ke rumah sakit…”

Aku memotong perkataannya dengan cepat, “Ada apa? Siapa yang sakit?”

“Ibunya Minhyuk dilarikan ke rumah sakit sejak semalam, dan di sanalah semua orang berkumpul sekarang.”

Aku merasakan kepalaku pening. Tapi aku memaksakan diri untuk bangkit, aku menuju kamar untuk meraih mantel dan kembali menemui kakak iparku di dapur. “Oppa, kau harus mengantar aku ke sana.”

…to be continued

please give me your criticism and suggestion, due to this is the first story I write after a long long hiatus. thank you ❤

25 thoughts on “Lost Star (Part 1)

  1. Aku khilangan kata-kata ketika membaca ini 😥
    Aku menangis bukan hanya ketika bertemu dimana titik aku harus bersedih, tapi dimana ketika aku membaca kalimat pertama dsini 😥
    Disini begitu banyak menyimpan perih, luka bahkan beban perasaan 😥
    Ah rasany seperti luka yg ditaburi garam ditambah perasan jeruk nipis 😀
    Eonni, hwaiting for next chapter !!
    Semoga next chapter bisa sukses bikin aku nangis senggukan seperti sekarang 😀
    Ah jika next chapter ‘happy, bikin aku ngfly thor 😀
    Ah molla, semoga kau keadaan baik, sehingga cerita ini memiliki ‘baik lebih lagi..
    Aku nangis senggukan thor … hiks 😥
    *ThisIsRealNoSetting aku nangis 😀

    • terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. dan saya sangat menghargai atas komentar panjang yang kamu tuliskan 🙂 cerita selanjutnya akan diusahakan di puublish secepat mungkin. doakan semoga tidak ada halangan ya 🙂

  2. Yak!! thor cepet lanjut, ron sapa? kok tafi soo jung dipanggil kim soo jung? ayolah…. ending harus hyukstal, next thor

    • maaf ya saya salah tulis marganya Soojung. sebetulnya sudah saya edit jadi Jung, tapi entah kenapa tidak tersimpan. terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga bisa bertemu lagi di cerita selanjutnya 🙂

    • maaf ya saya salah tulis marganya Soojung. sebetulnya sudah saya edit jadi Jung, tapi netah kenapa tidak tersimpan. terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga bisa bertemu lagi di cerita selanjutnya 🙂

  3. Finally, author ini comeback yeaaaah
    Aduh seperti biasa kalo ff author pasti ada sedih2 nya dan ngeliat awal genre #filmkali ini angst Aku udah males baca krna aku pecinta bacaan romance happy ending. Tapi karna yg buat ini ff author kesukaan aku dan castnya jg couple fav aku ya aku jadi baca hoho

    Dari awal udah sedih hiks, udah feeling dua bulan di korea pst ada sesuatu nih antara ming dan soojung. Author jangan buat sad ending pleaseeeee. Menunggu lanjutan ceritanya ini.
    Semangatlah

    • halo, terima kasih sudah membaca tulisan saya untuk yang kesekian kalinya. lanjutannya akan diusahakan datang secepatnya dan akan kita lihat apakah sad ending atau tidak? hehe 🙂

  4. Huaahhhh!!! Seneng banget star i used to know ada sequelnyaaaa>,< rasanya gak bisa berkata2 lagi. Aku seneng baca adegan keluarga kecil Sooyeon, hangat sekaligus manis 🙂 aku agak gak setuju soojung sama ron, rasanya aneh. Dan minhyuk juga pasti rasanya sakit pas tau soojung udah pacaran. Entah kenapa aku benci sama ron, mungkin gara2 gak bisa bayangin gimana muka ron/? Tapi pasti minhyuk rasanya sakit dan kesepian. Gak terlalu deket sama keluarganya dan fakta kalo soojung udah punya pacar pasti buat minhyuk gak bisa ngomong apa2 lagi. Ditunggu part duanya 🙂

  5. Aaaah, eon, akhirnya muncul juga. Ini keren banget banget banget. Ditunggu part duanyaaaa. Jangan lama lama yaa ☺☺☺☺

  6. What?first kiss soojung ama si ron???andweee….
    Soojung harus ama minhyuk pokoknya!!!!
    Update soon ya thor!!Jebal…

  7. Gak tau kenapa ya, mungkin aku lebih suka sad ending untuk Soojung dan Min Hyuk hehehe.. nice eon, selalu suka sama cerita eon dengan unsur-unsur kata yang memukau 😀

Leave a reply to Yeowon Cancel reply