Lost Star (Part 4)

Kang Minhyuk,Jung Soojung;Chaptered;Angst.

Aku menelepon Minhyuk tapi nomornya tidak aktif. Setelah lelah mondar-mandir di kamarku, akhirnya aku memakai jaket dan pergi mencari taksi. Aku memikirkan apa yang harus aku katakana padanya jika kami bertemu nanti, atau bagaimana aku harus bersikap. Dengan jantung berdebar-debar aku mengetuk pintu apartemennya.

Apartemen itu berada di lingkungan yang agak kumuh dan sangat sepi. Setelah mengetuk selama beberapa kali akhirnya pintu dibuka dan aku melihat wajahnya yang kusut.

“Sialan!” dia memaki dengan nyaring di depan wajahku. “Aku akan memotong tungkai kakinya hingga dia akan jadi lebih pendek dari siapa pun.”

“Minhyuk,” aku menyebut namanya dengan takut, “boleh aku masuk?”

“Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, siapa pun tidak dibolehkan datang ke tempatku. Tapi arghh… sudahlah. Cepat masuk.”

Apartemennya luar biasa berantakan dan kaleng soju ada di mana-mana, begitu juga dengan sepatu, kaus kaki dan pakaian kotornya.

“Jangan melihatnya dengan pandangan menghina,” dia tiba-tiba berkata.

“Maaf,” kataku dan duduk di sofa.

“Jadi apa yang membuatmu ke sini?” tanyanya, ikut duduk di sampingku, badannya dia sandarkan pada badan sofa.

“Aku hanya ingin memastikan di mana kau berada.”

“Kenapa memangnya?”

“Orangtuamu mengkhawatirkanmu.”

“Aku bukan anak kecil. Lagi pula ini bukan kali pertamanya aku tidak pulang ke rumah.”

“Tapi ibumu kan sedang sakit, seharusnya kau ada di sana.”

Minhyuk membuka kaleng soju dan menyodorkan satu padaku tapi aku menolak, “Oh… rupanya kau alim juga.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Orangtuamu hanya ingin kau ada di sana bersama mereka, ibumu sakit. Kuharap kau ingat itu.”

Dia mengempaskan kaleng soju ke meja hingga isinya tumpah, “Berhenti mengurusi kehidupanku, Soojung. Kau tidak tahu apa pun tentangku. Berhentilah bersikap seolah kau begitu peduli.”

“Tapi aku memang peduli.”

“Omong kosong. Pulanglah, tinggalkan aku sendirian.”

“Tidak, kau juga harus ikut pulang.”

“Sialan! Brengsek! Dasar sialan.” Dia mulai menyumpah-nyumpah dan menenggak soju sebanyak mungkin. “Dasar brengsek!” umpatnya lagi.

“Berhentilah berkata kasar,” aku memintanya dan dia menatapku dengan wajah meremehkan.

“Yah… kau tentu tidak terbiasa  mendengarnya, kan? Aku harap maklum karena pacar Amerikamu itu begitu sempurna, dia bahkan tidak berkata sialan atau brengsek bahkan ketika seseorang membuang puntung rokok ke arahnya.”

Aku menjadi marah mendengarnya, “Jangan menyebut-nyebut dia. dia tidak ada hubungannya dengan ini. Kau yang harus menjaga perilakumu, kenapa kau tumbuh menjadi seseorang yang begitu buruk?!”

“Persetan dengan pandanganmu itu Soojung!”

Kami mulai bertengkar hebat dan saling berteriak. Dia menyumpahi aku berkali-kali dan aku balas mengatakan bahwa hidupnya begitu menyedihkan. Dia merasa begitu tersinggung dan meninju dinding hingga kepalan tangannya membiru dan berdarah. Kemudian aku menangis.

“Jangan lakukan itu lagi,” aku tersedu-sedu di lantai, seolah berlutut padanya, “kumohon jangan.” Dan dia berhenti. Aku masih menangis tapi pelan. Dia datang mendekat dan aku bisa mencium alkohol dari napasnya.

Minhyuk meraih tanganku dan tangannya yang bebas mengapus air mataku dengan lembut, “Sssst…” katanya, “Maafkan aku.”

Aku meraih tangannya yang terluka, dan menyentuhnya, “Apakah sakit?” dia meringis dan aku mencari dapur untuk mengambil baskom, air dingin, sapu tangan dan menemukan kotak P3K di sana.

Aku membasuh tangannya dan membebatnya dengan perban.

“Kau membuatku takut, tahu,” aku memberitahunya dengan suara lirih dan kurasa aku akan menangis lagi.

“Maafkan aku,” aku bisa tahu bahwa dia begitu menyesal setelah apa yang terjadi tadi.

“Aku juga minta maaf, tidak seharusnya aku mengatakan hal-hal jahat tentangmu, tentang hidupmu.”

“Tidak, itu semua benar. Aku memang menyedihkan. Aku tumbuh menjadi manusia yang begitu buruk,” dia tertawa sedih di depan mataku.

“Kau tidak begitu, orang jahat tidak akan menemani ibuku belanja. Ibuku memberitahu bahwa kau selalu ada di saat dia membutuhkan bantuan. Terima kasih, aku yang anaknya saja bahkan tidak bisa tinggal lebih lama di dekatnya.”

Dia tersenyum dan aku ikut tersenyum juga. Aku tidak memedulikan lagi tampilannya yang kusut dan di mataku kini dia adalah lelaki yang sangat tampan. Meski dia tidak punya mata seperti lautan, tapi dia punya mata hitam gelap, yang menjanjikan bahwa aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk lagi.

Tangan Minhyuk meraih wajahku, jari-jarinya membelai rambutku. “Aku senang kau ada di sini,” katanya dan untuk sesaat kupikir dia akan menciumku. Tapi yang dia lakukan adalah menyatukan keningnya dengan keningku. Kami memejamkan mata dalam diam dan jantungku berdebar kencang. Tapi ini berbeda, debarannya membawa kehangatan yang begitu nyaman.

“Pulanglah,” katanya kemudian. Aku membuka mata dan wajahnya masih begitu tampan. “Keluargamu mungkin khawatir, kau sudah terlalu lama di sini.”

“Bagaimana denganmu?” tanyaku.

“Kurasa Jungshin sudah memberitahumu bahwa ini kebiasaan yang kulakukan sebelum tampil untuk konser kan?”

“Baiklah,” aku bangkit  dan berjalan menuju pintu. Kami berdiri di ambang pintu saling berpandangan, “Jangan minum lagi,” aku berpesan.

“Ya,” dia mengangguk.

“Aktifkan ponselmu,” kataku lagi,

“Akan aku ingat,” balasnya.

“Aku pulang dulu,” aku berkata.

“Kau boleh datang lagi besok,” aku menatap wajahnya lekat dan dia melanjutkan, “besok… besoknya lagi dan besoknya lagi. Kau boleh datang kapan pun kau mau.”

Aku hampir menangis dan merasa begitu bahagia, “Aku akan datang besok.”

“Janji?” dia meminta seperti anak kecil dan aku berkata aku berjanji. Dia memelukku sebentar dan memanggilkan taksi untukku.

“Sampai jumpa besok,” dia melambaikan tangan saat aku sudah duduk di dalam taksi.

“Dah…” aku melambaikan tangan dan taksi meluncur.

Esoknya aku menuju apartemen Minhyuk dengan bersemangat. Sooyeon bertanya-tanya apa yang membuatku tampak begitu bahagia.

“Tidak ada,” kataku dan kemudian dengan konyolnya dia berkata, “Kurasa Ron sudah melamarmu, betul tidak?” sekonyong-konyong semangatku menyurut begitu saja dan Sooyeon minta maaf.

Sesampainya di apartemen Minhyuk, aku menemukan lelaki itu sudah sangat rapi ketika dia membuka pintu untukku.

“Kurasa kita perlu pergi keluar,” katanya.

“Kuharap kau memberitahuku kita akan pergi keluar, aku bisa mengenakan riasan wajah dan baju yang lebih bagus.”

“Tidak perlu, kau selalu cantik,” dia berkata santai dan aku tersipu-sipu.

Kami tiba di sebuah kelab malam yang kecil dan agak tersembunyi. “Kau mungkin tidak terlalu menikmati ini, tempatnya kecil dan tidak dikenal banyak orang. Tapi itulah keuntungannya, tidak ada yang menggangguku jika kita ke sini.”

“Aku akan suka.”

Kami masuk dan memesan minum dan aku mengingatkan Minhyuk agar tidak minum alkohol berlebihan.

“Aku suka di sini,” Minhyuk duduk satu sofa denganku, dengan posisi miring menghadapku. “Suasananya menyenangkan. Kau akan melihat band tampil dengan lagu-lagu indah juga.”

Dia melanjutkan, “Biasanya kami berempat ke sini. Tempat ini memberi banyak inspirasi. Yonghwa hyung bahkan bisa menulis lagu di sini. Hebat bukan?”

Aku mendengarkan dia bicara terus menerus tanpa merasa bosan. Aku ingin tetap di sini, bersamanya. Aku ingin melakukan ini besok, besok dan seterusnya.

“Apa kau memberitahu orangtuaku kita bertemu?”

“Ya, kuharap kau tidak marah.”

“Tidak. Apa kata mereka?”

“Aku bilang kau sibuk dan mereka berkata tidak apa-apa yang penting kau jaga kesehatan,” segera setelah mengatakan itu dia merenung sendiri. Kurasa dia ingin terbang menemui orangtuanya dengan segera.

“Apakah ibuku sehat?”

“Sehat.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

“Sehat.”

Dia diam selama beberapa detik dan kemudian meraih tanganku, “Terima kasih,” katanya. Tangannya hangat dan dia tidak melepaskan genggamannya. Aku tidak keberatan.

“Konsernya berlangsung selama tiga hari, dimulai akhir minggu ini,” dia memberitahuku. “Kau mau datang?”

Dengan pelan aku berkata, “Aku sangat ingin, sungguh. Tapi aku harus kembali akhir minggu ini. Aku punya pekerjaan yang sudah kutelantarkan terlalu lama. Ada tanggung jawabku di sana, maafkan aku.”

Dia tersenyum tulus. Indah namun terlihat menyakitkan, “Aku senang melihat kau tumbuh menjadi orang dewasa yang sangat bertanggung jawab,” katanya dan aku meremas tangannya.

Kami mendengarkan musik yang dimainkan band untuk beberapa menit kemudian Minhyuk bertanya, “Apakah pacarmu memintamu kembali?”

Aku merasa lelah saat itu juga, dengan lemah aku memohon, “Bisakah kita tidak membicarakan dia untuk saat ini?”

“Maaf sudah membuatmu tidak nyaman,” Minhyuk tersenyum tidak nyaman dan aku menggeleng, menyuruhnya untuk santai.

Band kembali bermain, dan kami berdua mendengarkan gitar yang dipetik dan kemudian disusul oleh suara lembut vokalisnya. Kiss Me Slowly, lagu yang kutahu dibawakan oleh Parachute. Liriknya mengalir lambat di antara aku dan Minhyuk, dia mendengarkan dengan seksama. Kemudian kami bertatapan erat.

Stay with me… baby stay with me

Minhyuk tersenyum lembut kepadaku.

Tonight don’t leave me alone

Aku balas tersenyum kepadanya. Lirik terus mengalun lembut dan kami memasang telinga, hingga sampai pada bagian:

Hold my breath as you moving in

Taste your lips and feel your skin

When the time comes

Baby don’t run, just kiss me slowly

Minhyuk meraih tubuhku dan memeluknya erat, membenamkan kepalanya di leherku untuk waktu yang lama. Setelah itu dia melepaskanku dan berkata, “Ayo jalan-jalan lagi,” dan kami meninggalkan kelab.

Malam sudah sangat larut ketika kami berjalan-jalan, tapi kota begitu terang dengan kerlap-kerlip lampunya. Jalan raya sudah sangat sepi dan Minhyuk berbaring di sana, menunggu kendaraan melintas. Tapi tidak ada yang melakukannya, jadi dia menarikku dan kami berdua berbaring di sana.

“Bisakah kau hitung berapa banyak bintang di sana?” dia menunjuk langit dan seribu kenangan tentang masa remaja kami menyerang otakku. “Soojung?” Minhyuk menyadari aku menjadi begitu diam.

“Tidak banyak bintang yang bisa dilihat.”

“Dulu itu menyenangkan, bukan? Berbaring di atas atap dan tidur di bawah langit.”

Kami mulai membicarakan masa lalu. Kukira aku akan menghindar, tapi tidak lagi. Masa lalu, di mana hanya ada kami yang masih kecil. Tidak ada Ron dan masalah dengan keluarga Mnhyuk.

Kemudian Minhyuk membawaku ke sungai Han yang hampir beku, dia menantangku untuk mencelupkan jempol kakiku ke airnya. Kami melakukannya dan tertawa-tawa setelahnya, merasa begitu gembira. Udara begitu dingin tapi tubuh kami banjir keringat. Kami berguling-guling di atas rumput yang tidak ditutupi salju, terus tertawa-tawa.

Dan tiba saatnya untuk menjadi diam. Kami begitu hening. Minhyuk duduk dan mencabuti rumput. “Ayah selalu ingin aku masuk sekolah hukum, tapi aku tidak melakukannya. Aku bahkan tidak pernah mencoba mengikuti tes. Alih-alih melakukannya, aku malah pergi mengikuti audisi. Itu membuatnya kecewa, dan Ibu begitu sedih. Kuharap aku bisa memperbaiki semuanya.”

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, aku hanya ikut duduk dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Kuharap kau bisa tinggal lebih lama di sini,” katanya lagi. “Rasanya menyenangkan sekali menemukan kau di sini, aku hampir tidak percaya kau datang.”

“Kuharap aku bisa tinggal. Sama sepertimu, aku juga senang berada di sini, bersamamu. Tapi aku punya kehidupan di sana, aku puunya tanggung jawab. Aku punya orang-orang yang harus kutemui. Aku memulai segalanya di sana, bagaimana mungkin aku mengakhirinya begitu saja.”

Dia tersenyum.

“Aku tidak akan memaksamu tinggal.”

Kami diam lagi, kemudian dia mulai menceritakan masa kecilnya padaku. Dia senang main bola dan pergi memancing di sungai dengan Ayahnya dan berharap bisa melakukannya lagi.

“Kau bisa melakukannya lagi jika kau mau,” kataku.

“Kau mau pergi memancing denganku?”

“Kurasa boleh juga.”

“Pasti akan asyik!”

Dia mulai bercerita tentang ikan-ikan di sana. Juga pohon-pohon tempat dia membuat ayunan dengan ayahnya. Aku selalu suka mendengarnya bicara. Meski udara menjadi begitu dingin, aku ingin bertahan di sini bersamanya.

Seolah-olah ada lagu merdu disenandungkan ketika dia memanggil namaku, “Soojung?”

“Ya?”

“Bisakah kau jujur padaku?”

“Aku akan berusaha.”

Kemudian dia bertanya, “Kenapa kau menemuiku? Apa orangtuaku benar-benar alasannya?”

“Orangtuamu alasannya. Tapi aku juga ingin bertemu denganmu. Aku ingin melihatmu, aku merindukanmu. Kurasa,” aku bisa melihat senyum di wajah tampannya.

“Dan… maukah kau tinggal lebih lama di sini dan datang ke konser kami?”

Aku ingin berbohong kalau perlu agar harapan di matanya tidak padam, tapi Ayahku selalu mengajari bahwa kejujuran begitu penting, “Maafkan aku. Tapi aku sudah berjanji akan pulang akhir minggu ini.”

“Janji dengan pacarmu?”

Aku tidak mau menatap wajahnya, tapi lidahku berkata “Ya. Dengannya.”

Minhyuk menarikku berdiri dan mengajakku mencari kedai untuk minum soju, meski sudah berjanji untuk mejauhi alkohol, aku membiarkannya melakukan apa pun yang dia mau. Hanya untuk malam ini, kupikir.

Aku hanya minum segelas untuk menghindarkan diri dari mabuk. Tapi Minhyuk minum begitu banyak hingga dia tidak bisa bangun lagi. Aku harus membopongnya menuju taksi dan kembali membopongnya saat tiba di depan bangunan apartemennya. Meski lelah, aku tetap merasakan kegembiraan berdentam-dentam dalam dadaku. Dia bernyanyi-nyanyi dalam tidurnya.

Aku meletakkan dia ke atas tempat tidurnya dan menyelimutinya. Kemudian berdiam diri di sana selama satu jam, memandangi dan mengagumi keindahan wajahnya. Dia bergumam dalam tidurnya dan aku mengecup pipinya dengan pelan.

“Aku menyayangimu. Aku selalu melakukannya,” bisikku di telinganya, lalu berdiri untuk mematikan lampu. Kututup pintu kamarnya ketika keluar dan aku berjalan menuju pintu depan. Pulang.

Minhyuk mengirim pesan pada malam sebelum aku berangkat ke California bahwa dia sibuk kemarin dan kami akan memancing pada pukul lima pagi dan kembali jam delapan, kemudian jam sembilan aku akan ke bandara. Begitu katanya.

Setelah itu Ron menelepon dan mengatakan bahwa dia sudah membereskan rumahku, agar aku merasa nyaman jika sampai di sana nanti. Dia bahkan membelikan buku-buku baru untuk aku baca.

Satu jam kemudian aku menelepon ayah Minhyuk dan mengundangnya untuk pergi memancing tanpa memberitahukan bahwa anaknya akan ada di sana dan aku tidak akan datang.

Aku mengecek barangku untuk yang terakhir kalinya sebelum mematikan lampu untuk tidur.

Kami sekeluarga berada di bandara. Dan tidak ada obrolan sama sekali. Sooyeon masih akan tinggal di sini untuk sementara, tapi bukan berarti itu dapat menyelesaikan masalah. Ibu ingin kedua anaknya ada di dekatnya tapi aku memilih pergi.

Saat aku harus benar-benar pergi, Sooyeon berbisik ketika memelukku, “Hati tidak akan pernah berbohong. Ikutilah kata hatimu selalu. Aku menyayangimu dan aku ingin melihatmu bahagia, apa pun pilihanmu itu,” aku mencium pipinya, kemudian mengeret koperku pergi, menahan tangisanku hingga di pesawat. Pramugari berusaha mencari tahu apa penyebab tangisanku, tapi aku bilang tidak ada apa-apa.

Beberapa menit sebelum perintah untuk mematikan ponsel diberikan, aku berharap Minhyuk menelepon, atau mengirim pesan. Kuharap dia memintaku tinggal, sama seperti malam itu. Agar aku yakin dia tidak hanya sekedar basa-basi saat itu. Aku akan tinggal jika dia memang menginginkannya. Aku akan memberikan hatiku sekali lagi jika dia memang menginginkannya.

Ponselku  berdering, satu pesan diterima.

Tidak sabar ingin melihatmu. Semoga perjalananmu menyenangkan.

Dari Ron. Aku mematikan ponsel dan menangis lagi.

Pesawat melayang di udara dan membawaku kembali pada Ron.

…to be continued

16 thoughts on “Lost Star (Part 4)

  1. tuh kan baper abis, aku sampe nangis 😥 😥 😥
    persetan oh persetan, novel terjemahan yg aku baca banyak yg pake kata persetan drpd sialan..
    ini astaga thoorrr baper uyyy, daebak ! apalagi d next ny rentetan gini, aduh satu chap lagi aku ngabisin tissue ini mah duh duh duh
    semangat thor, sehat-sehat biar bikin konflik nya complicatedd. hha 😀
    please s ron jangan terlalu d expose, baper ih biar pake ron juga.. 😀
    ngga usah

  2. yaampun minhyuk… sampe segitunya…
    ah gregetan ama mereka.. tp coba seandainya di sini dibikin minhyuk ngambeknya lbh di jembrrngin lg thor. pasti galaunya soojung dapet.. haha.. well, aku masih ngerasa kecepetan nulusnya, tp feel yang ini lebih dapet. entahlah, mungkin karena banyak hyukstal momentnya kali ya.. semangat!!

  3. Kyaaaaa haruskah mereka pisah lagi hiks.
    Minhyuuuuk susul lah susul aduh
    Authornim please jangan buat soojung ma ron ya. Aku tau ron orangnya baik kok hehe
    Lanjutannya ditunggu

  4. Daaaaaaan meweeeeeek….
    Kayaknya Ron buat pelarian aja sama soojung,sesungguhnyaaa hati soojung tetap minhyuk,minhyuk dan selalu minhyuk!!
    Please Hyukstal Juseyo authornim!!!

  5. Hai kak author! Aku mau minta izin buat ff, inspirasinya dari fanfic kakak makanya minta ijin, heheh. Aku terinspirasi dari fanfic The Sky Is Everywhere, nanti kalau udah kukirim ke blog yang biasanya kukirim ff, aku sertain inspirednya. Makasih kak ^^

  6. Ya awloh nangis mulu kalo baca nih ff:’ si Minhyuk labil si Soojung labil, semuanya labil huhuu:'( pls thor jgn bahas si ronron terus. emosi batinku tak dapat tertahan kalo masalah ronron *hw ngomong paan dah :3
    Udahlah next aja thor yakk semangat! di next chap bisa gak si ronron hilang untuk selamanya wakaka:’v

  7. Baru nemu ff ini .. Langsung baca 4chapter .. Suka jalan ceritanya dan berharap krystal balik ke korea , jangan lama” ya min next chapternya hehe

Guest [untuk kamu yang tidak punya acc *cukup masukkan nama & email**email aman*] | [Bisa juga komen melalui acc Twitter & Facebook]