Thursday Morning

roses-vase-window-flower-petals

Thursday Morning

 

by ree

 

Casts: f(x)’s Jung Soojung, CNBLUE’s Kang Minhyuk  || Genre: romance || Rating: PG-15 || Length: ficlet || Disclaimer: inspired by IU’s Friday

 

 

 

 

Time, please go faster. I want to rush the clock.”

 

 

 

***

 

 

 

 

Dahiku refleks mengernyit begitu mendengar suara yang berulang sayup-sayup memasuki indera pendengaranku. Alarm. Benda kecil itu telah berjasa mengembalikanku dari alam mimpi. Dan itu artinya, mau tidak mau aku harus segera meninggalkan nyamannya kasur dan hangatnya selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuhku ini.

Dengan sedikit berat hati aku pun membuka mata. Butuh waktu agak lama hingga pandanganku tidak lagi mengabur karena retina belum terbiasa menerima rangsang cahaya. Kuulurkan sebelah tanganku ke samping, menggapai-gapai alarm di atas nakas untuk menghentikan deringannya karena yah… lama-lama cukup mengganggu juga. Entah kenapa mataku langsung terbuka lebar begitu melihat tanggal yang tertera di layar alarm digital itu.

Aku mendengus kecil dan mulai mendudukkan tubuhku. Kurasakan sudut-sudut bibirku sedikit tertarik membentuk sebuah senyuman. Tapi aku sedang tidak mengigau, sungguh. Aku memang tidak bisa tidak tersenyum untuk hal yang satu ini.

Kuseret langkahku menuju jendela besar di samping ranjang dan kusibakkan gorden putih yang menutupinya hingga kamarku jadi terang-benderang karena sinar matahari yang menembus dari kaca. Tampaknya langit tidak mendung. Bagus. Satu lagi pertanda baik hari ini.

Dengan langkah ringan aku berjalan menuju dinding yang letaknya berseberangan dengan jendela, menghampiri sebuah kalender berukuran sedang yang tertempel disana. Jariku perlahan menelusuri tiap kotak berisi angka hingga akhirnya sampai pada tanggal hari ini. Minggu ketiga di awal musim semi. Langsung saja kugoreskan spidol merah yang kuambil dari atas nakas sebelumnya membentuk gambar hati mengelilingi salah satu tanggal. Tanggal yang kutunggu-tunggu.

Kulanjutkan langkahku keluar kamar. Hal ini cukup langka karena tidak biasanya aku keluar kamar di pagi hari ketika liburan. Tidak tercium wangi kopi ataupun roti panggang yang baru keluar dari toaster. Tidak ada kegiatan apapun karena di apartemen ini aku hanya tinggal sendiri.

Kududukkan badanku di kursi yang berhadapan dengan dapur dan kutopangkan daguku di atas meja marmer. Beberapa buah cookies di toples rasanya cukup untuk mengganjal perut. Kuhentikan pandanganku pada deretan alat-alat dapur yang menganggur. Dalam posisi seperti ini, aku jadi ingat seseorang yang sering berkutat disana, menggoreng telur dadar atau sosis dan bacon untuk sarapan kami berdua. Jika sudah begitu, aku akan berlama-lama duduk sambil bertopang dagu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tidak habis pikir bagaimana melihat punggungnya saja bisa terasa begitu menyenangkan.

Aku mengendap mendekatinya dari belakang. Entah karena ia menganggap aku masih tidur atau sedang sangat serius dengan masakannya, ia sampai tidak menyadari keberadaanku. Segera saja kupeluk ia dari belakang. Sesuai dugaanku, ia tampak sangat terkejut.

“Astaga! Untung saja aku sedang tidak memegang pisau. Bagaimana kalau kau terkena minyak panas, Soojung-ah?”

“Kenyataannya tidak.” Kusunggingkan senyumku ke arahnya.

Diam-diam kuulurkan tanganku yang masih terselip diantara tubuhnya dan dengan secepat kilat kusambar seiris bacon yang baru saja selesai digorengnya. Langsung kulepaskan pelukanku dan kulahap bacon itu.

“Ya! Soojung-ah!” lagi-lagi ia terkejut dengan aksiku dan hendak mencegah, namun sudah terlambat. Irisan bacon itu sudah tertelan dengan mulus ke kerongkonganku.

“Jalmeokkesseumnida, Tuan Kang.” Ujarku sambil memamerkan senyum terbaikku. Dengan begini ia pasti tidak akan marah.

Minhyuk mengulurkan sebelah tangannya dan mengacak-acak pelan puncak kepalaku, “Dasar.”

Aku benar kan? Dia tidak akan marah.

Kusambar segelas susu yang sudah tersedia di atas meja dan meneguknya beberapa kali. Pandangan mataku belum terlepas dari kompor dan alat-alat dapur dihadapanku. Rasanya aku masih ingin mengingatnya. Mengingat memori itu lebih jauh dan lebih jauh lagi.

Karena tidak ada hal yang harus kulakukan hari ini, aku pun memutuskan untuk bersantai di sofa, membaca buku, mendengarkan musik, atau apapun itu yang kira-kira bisa membuatku lupa waktu. Baru aku sadar kamera digitalku tertinggal disana. Entah berapa hari yang lalu aku terakhir memakainya dan lupa menyimpannya kembali. Aku pun tertarik untuk melihat-lihat foto didalamnya. Sebagian besar foto-foto itu adalah hasil jepretanku, dan sisanya adalah hasil bidikan Minhyuk.

“Lihat, jelek sekali wajahmu saat sedang tidur.”

“Memangnya kau tidak sadar bagaimana wajahmu saat sedang makan? Mulutmu lebar sekali, kau tahu?”

Aku hanya bisa mencibir. Kesal sekali begitu tahu Minhyuk memotretku diam-diam ketika sedang makan. Mana kutahu kalau wajahku akan sebegitu parahnya waktu itu? Dan hei, aku juga manusia. Aku juga bisa merasa lapar.

Tanpa sengaja mataku menangkap sebuah stik drum yang terselip di lipatan sofa. Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Minhyuk. Kalau sedang bosan menunggu, ia suka memukul-mukul pahanya sendiri seolah sedang bermain drum. Orang normal pasti akan merasa sakit. Tapi… ah, entahlah… kadang aku tidak mengerti. Beberapa waktu yang lalu ia sempat meninggalkan salah satu stik drumnya disini.

“Anggap saja kau dan aku adalah sepasang stik drum, yang jika salah satunya tidak ada, tidak akan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.”

“Dasar gombal! Aku tahu kau tidak hanya punya satu atau dua pasang stik.”

Kuraih stik tersebut dan memutar-mutarnya di udara dengan jari-jariku. Beberapa kali stik itu terlepas dan jatuh. Yah, aku memang tidak bisa melakukannya. Jika melihatnya, Minhyuk pasti akan menertawakanku.

“Bukan begitu. Begini caranya.” Ia membetulkan letak jariku untuk memegang stik dan bagaimana menggerakkannya agar stik itu dapat berputar cepat dan tidak terjatuh.

Astaga, sebuah stik drum saja bisa membuat jantungku berdebar seperti ini. Aku pasti sudah gila.

Benda lain yang tidak kusangka akan kutemui selanjutnya adalah metronom. Metronom itu sudah tidak digunakannya lagi karena ia sudah membeli yang baru. Tapi kurasa sayang jika dibuang begitu saja, jadi kuputuskan untuk menyimpannya. Lagipula Minhyuk masih sering memakainya ketika sedang bermain-main dengan stik drum yang sudah kusebutkan tadi. Kuperhatikan metronom berbentuk kucing itu. Bunyi yang dihasilkannya senada dengan detikan jam dinding yang bergema dalam ruang tengah ini. Membuat waktu serasa berjalan lebih lambat.

“Aish! Aku bahkan menganggap mata kucing yang sedang tersenyum ini mirip dengan matamu.”

Mulai jengah dengan rasa sepi ini, aku pun menyalakan tape dan beranjak menuju jendela yang letaknya berhadapan dengan sofa. Irama jazz yang lembut mengalun begitu kudekatkan wajahku ke kaca, memandang ke luar jendela.

Aku jadi ingat tiap kali menunggu Minhyuk untuk datang. Kudongakkan kepalaku setinggi mungkin untuk melihatnya muncul dari tikungan. Aku sudah hapal bagaimana gestur tubuhnya ketika berjalan, jadi aku pasti langsung mengenalinya meskipun dari kejauhan.

Ia akan menghentikan langkahnya begitu memasuki pekarangan rumahku dan mendongak ke arah jendela tempat aku berdiri. Ia lalu melambaikan tangannya yang menggenggam seikat bunga─apapun jenis dan warnanya.

Jika sudah begitu aku hanya bisa mencibir, “Dasar sok keren!”

“Coba lihat itu, kau tidak pernah datang kesini dengan tangan kosong.” Kukedikkan dagu ke arah jendela, bersikap seolah-olah Minhyuk ada disampingku dan ikut melihat ke luar. Setengah mencibir, setengah tidak enak hati. Aku memintanya menjemput bukan untuk selalu dibawakan hadiah.

Kalau aku merajuk seperti ini, Minhyuk biasanya hanya melemparkan cengirannya, membuatku gemas untuk mencubit kedua pipinya.

Kusandarkan punggungku pada bingkai jendela. Beruntung aku membeli apartemen dengan satu jendela besar yang bisa diduduki di bagian pinggirannya karena jujur saja, ini adalah tempat favoritku selain tempat tidur. Aku bahkan menyiapkan boneka disini.

Kupeluk boneka berbentuk burung hantu─yang sama sekali tidak tampak menyeramkan itu─kemudian bersenandung kecil mengikuti irama lagu. Lagi-lagi aku tidak bisa menyembunyikan senyumku mengingat romantisnya Minhyuk dengan semua hadiah itu.

Kuhentikan nyanyianku begitu menyadari ia ikut bersenandung kecil. Kutatap wajahnya yang ternyata juga sedang memandang ke luar jendela sambil bersandar di bingkai jendela dihadapanku. Ia buru-buru menghentikannya begitu tahu suaraku tidak lagi menutupi suaranya─yang jika tidak hanya kami berdua yang ada disini, maka tidak akan terdengar.

Aku tersenyum begitu ia balas melirikku. Jika sudah begitu, ia akan jadi salah tingkah. Aih, lucu sekali wajahnya.

“Kenapa berhenti?” godaku.

“Apa?”

Aku menahan tawa. Ia memang bukan seorang penyanyi. Jadi aku bisa maklum jika ia malu.

Pandanganku terhenti pada beberapa tangkai mawar oranye dalam jambangan yang sengaja kutaruh di pinggir jendela. Bunga itu mulai layu, terlihat dari warna kecoklatan yang mulai muncul pada pinggiran mahkotanya dan daunnya yang mulai mengering. Kusentuh bunga itu lembut dengan ujung jariku—takut semakin membuatnya rusak. Terakhir ia membawakannya seminggu yang lalu.

“Bunganya sudah mulai layu, Minhyuk-ah. Kau harus segera menggantinya dengan yang baru.”

Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat. Sepertinya aku akan semakin dianggap orang gila jika terus berkeliaran disini. Aku pun beranjak menuju kamar, mendekati kalender yang terpasang di dinding. Tunggu! Rasanya aku sudah kesini tadi. Tanggal yang kutunggu pun sudah kutandai dengan spidol. Ah, tapi apa salahnya? Kugoreskan lagi spidol merah pada tanggal itu, membentuk gambar hati yang semakin tebal dan besar. Yang harus kuingat baik-baik; sekarang adalah hari Kamis.

Kurebahkan tubuhku ke atas kasur dan kembali kutarik selimut hingga menutupi setengah wajahku. Tampaknya aku harus mempercayai anggapan bahwa ‘tidur akan membuatmu merasa waktu berjalan lebih cepat’.

Sebelum menutup mata, kuraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di sampingku dan melihat display-nya. Beberapa pesan berisi ucapan selamat pagi dan missed call rutin di pagi hari menghiasi daftar notifications. Untuk kesekian kalinya aku tersenyum. Rasanya aku semakin tidak sabar untuk tidur dan terbangun kembali dua puluh empat jam kemudian─andai saja hal itu bisa dilakukan.

“Minhyuk-ah, see you on Friday.”

 

***

 

_________________________________

Hai!

Ga jauh beda sama Third Refusal, FF ini juga udah lama banget ada di laptop saya, malah dari penghujung 2013 (Gile!). Dan setelah saya pikir-pikir lagi mending saya post aja.

Saya emang ga bisa bikin FF yang romantis banget. Makanya jadi geje begini. Sangat disarankan baca FF ini sambil denger lagunya, biar rasa enegnya agak berkurang.

Oke, sampai ketemu di FF selanjutnya 🙂

 

 

8 thoughts on “Thursday Morning

  1. Kyaaaaa jd moment ma ming cuma flashback huhu
    Sayang banget. Pas aku baca ini jd lgsg liat mv iu yang friday hahaha

    Ahhh author kurang greget kali ini. Tetep suka gaya bahasanya yg enak.

    Sampai jumpa d ff selanjutnya

  2. Jujur rada bingung sih hehe *mian, mungkin aku yg ga konek*, terutama pas kalendernya ternyata blm ditandai.
    Aaah, segitu kangennya sampe dari bangun tidur yg diinget mh terus
    overall, so sweet

Guest [untuk kamu yang tidak punya acc *cukup masukkan nama & email**email aman*] | [Bisa juga komen melalui acc Twitter & Facebook]